Kompas TV nasional gaya hidup

Penganiaya David Gemar Flexing, Psikolog: Orang Sering Flexing Cenderung Punya Masalah Insecurity

Kompas.tv - 25 Februari 2023, 15:38 WIB
penganiaya-david-gemar-flexing-psikolog-orang-sering-flexing-cenderung-punya-masalah-insecurity
Ilustrasi flexing atau pamer. (Sumber: mohamed_hasan/pixabay)
Penulis : Kiki Luqman | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Psikolog menilai orang yang sering flexing atau pamer di media sosial cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.

Hal ini disampaikan oleh pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI) Dicky C. Pelupessy, Ph D.

"Sebenarnya kalau kita lihat dari kacamata psikologis, di situ ada problem dengan self-esteem orang tersebut. Ada problem dengan rasa aman, rasa nyamannya, jadi ada insecurity yang kemudian dia cari kompensasinya," kata Dicky dikutip dari Antara, Sabtu (25/2/2023).

Ia menjelaskan, setiap manusia memiliki self atau diri atau dapat diterjemahkan sebagai kesadaran tentang dirinya sendiri yang menjadi penggerak dari perilaku seseorang.

Setelah itu, ketika kesadaran diri dan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah, seseorang ingin mendapatkan pengakuan dan pujian bahwa dirinya lebih baik, yang datang dari luar dirinya atau orang lain.

Yang menjadi masalah, sebagian orang merasa bahwa flexing bisa dijadikan sebagai cara kompensasi untuk mendapatkan pengakuan tersebut.

Baca Juga: Jangan Keliru, Ini Beda Flexing dan Personal Branding

"Dia berusaha mengompensasi dengan cara flexing. Dia pikir kalau, 'Saya punya harta benda yang mahal, yang mungkin tidak semua orang bisa miliki, terbatas', dia pikir itu akan membuat dia akan dinilai orang lebih baik dan lebih hebat. Kemudian nanti, 'Saya akan mendapat sehingga saya merasa aman dan nyaman'," jelas Dicky.

Apabila seseorang tidak bisa berdamai dengan dirinya, maka orang tersebut akan merasa cemas terus-menerus, termasuk merasa tidak aman dan rendah diri terus-menerus. Jika hal ini terus ditumpuk, maka akan menimbulkan masalah secara psikologis.

Agar tidak terjebak pada perilaku flexing, menurut Dicky, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dengan menerapkan counter thinking atau berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.

Pertama, posisikanlah diri sendiri sebagai audiens atau orang lain yang akan melihat dan merespons unggahan flexing di media sosial. Kedua, carilah cara kompensasi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain flexing.

"Memikirkan, kira-kira apa, sih, reaksi orang ketika melihat saya flexing? Apakah kemudian beneran mereka akan memuji-muji saya, membuat saya terasa lebih hebat? Ataukah kemudian sebetulnya orang biasa saja (tidak memuji)?" terang Dicky.

Menurut Dicky, orang-orang terdekat juga bisa turut andil untuk menegur atau mengingatkan bahwa perilaku flexing tidak selalu berujung mendapatkan pujian, dan justru akan mendapat cibiran dan publik menganggapnya biasa saja.

"Kalau kita jadi orang yang kenal dekat, tidak apa-apa mengingatkan. Bahwa, 'kalau kamu memamerkan kekayaan, itu tidak lantas membuat orang terkesan, bahkan mungkin bisa jadi yang kamu dapatkan adalah cibiran. Dan mungkin orang akan menganggap itu sesuatu yang biasa saja'," kata Dicky.

Baca Juga: Kasus Investasi Bodong Naik 16,7 Persen, Kapolri Ungkap Modus Andalan, Salah Satunya “Flexing”


Sebelumnya diberitakan, pelaku penganiayaan David, anak seorang pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor, gemar melakukan tindakan flexing di media sosial. Mario Dandy Satriyo, anak seorang pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo, gemar mengunggah aktivitasnya yang bergaya hidup mewah.

 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x