Kompas TV bbc bbc indonesia

Kisah Korban Kekerasan Seksual Usia Dini: Trauma sampai Mati

Kompas.tv - 21 Januari 2022, 21:16 WIB
kisah-korban-kekerasan-seksual-usia-dini-trauma-sampai-mati
Ilustrasi kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Kebanyakan korban kekerasan seksual tidak bisa pulih sepenuhnya dari trauma mereka. Semakin muda usia korban, kata psikolog, semakin besar faktor traumanya. (Sumber: Google/Net)
Penulis : Vyara Lestari

"Aku bahkan bisa punya pikiran buruk terhadap anak kecil yang digendong laki-laki dewasa. Ya, aku nggak tau itu anaknya apa bukan, tapi pikiran aku ke mana-mana. Aku paranoid, habis itu aku cemas, dan segala macam," kata Adira.

"Nggak gampang hidup dengan trauma itu dan nggak gampang pulihnya. Butuh waktu, dan mungkin nggak akan pernah pulih. Kita hidup bersamanya."

Yang terjadi pada Bayuni juga tak jauh berbeda. Sepanjang hidupnya sampai usianya kini memasuki kepala tiga, Bayuni selalu dibayang-bayangi rasa kecemasan yang berlebihan, sampai menganggap dirinya tidak berharga.

Bayuni mulai terganggu dengan perasaan-perasaan itu dan memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog.

Dari sesi konsultasi itulah Bayuni menyadari bahwa kekerasan seksual yang dialaminya waktu kecil sudah membentuk dirinya yang sekarang.

Tak hanya 'membentuk karakter', pengalaman buruk Bayuni bahkan menciptakan trauma berkepanjangan.

Bayuni juga kerap diselimuti ketakutan, apalagi ketika harus berada di situasi saat dia harus berdua dengan laki-laki yang tidak begitu dia kenal, meskipun tidak berinteraksi sama sekali.

"Ada momen saya harus di kantor sendirian dan cuma ditemani OB (office boy). Itu bikin saya gemeteran, saya takut," kata Bayuni dengan suara yang agak bergetar. Dia takut apa yang pernah terjadi padanya dulu bisa terulang lagi.

Belakangan ini Bayuni menduga traumanya itu juga mempengaruhi hubungannya dengan sang suami.

"Saya kan sudah menikah satu tahunan dan sampai sekarang saya tuh nggak bisa melakukan hubungan seksual yang sampai penetrasi. Rasanya badan saya tuh menolak." Bayuni kemudian menangis.

"Saya masih benar-benar merasa itu sesuatu yang nggak bisa dilupakan, sesuatu yang traumatis dan itu akan selalu saya bawa sampai saya mati nanti."

Sulit atau bahkan tidak bisa pulih

Psikolog klinis dan forensik, Kasandra Putranto, mengatakan Adira dan Bayuni mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Hal itu bisa merusak konsep diri, mengganggu kualitas hubungan, menimbulkan masalah emosional, sampai mengganggu kapasitas berpikir.

Tingkat keparahan trauma itu, kata Kasandra, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia korban, jenis kekerasan seksual yang dialami, dan durasi kekerasan seksual itu terjadi.

"Semakin muda (usianya) bisa jadi semakin besar faktor traumanya dibandingkan, yang mungkin, sudah lebih dewasa. Semakin banyak tekanannya, semakin besar juga traumanya. Semakin lama, misalnya ada yang bertahun-tahun dibandingkan dengan yang satu satuan waktu, tentu akan lebih besar (traumanya)," kata Kasandra.

Sayangnya, kebanyakan korban kekerasan seksual tidak bisa pulih sepenuhnya dari trauma mereka. Seperti yang terjadi pada Adira dan Bayuni.

"Kebanyakan iya (tidak bisa pulih) dan itu akan memakan waktu yang sangat lama, untuk proses pemulihan trauma. Apalagi kalau ada dampak yang ditimbulkan, misalnya hamil, punya anak, dan harus mengurus anaknya pula. Padahal anak ini adalah anak dari orang yang dia benci.

"Itulah mengapa solusi menikahkan korban dan pelaku, itu bukan solusi. Itu justru melanggengkan kekerasan," ujar Kasandra.

Belakangan ini beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak menguak ke permukaan.

Seorang guru sekaligus pemimpin pondok pesantren dituduh memperkosa 13 santriwati sampai hamil dan melahirkan, satu keluarga diduga memperkosa dua bocah di Padang, remaja 14 tahun mengaku diperkosa dan dijadikan budak seks di Bandung, dan deretan kasus lainnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat pada 2021 terdapat 6.547 kasus kekerasan seksual pada anak. Itu pun yang tercatat.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es.

Hal yang sama juga dikatakan psikolog Kasandra. Dia mengatakan masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak diungkapkan atau dilaporkan dan korbannya tidak mendapatkan keadilan.

Meli (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu korban kekerasan seksual. Dia berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bisa mengakomodasi pelayanan pemulihan para korban kekerasan seksual.

Rapat paripuna yang digelar pada Selasa (18/1) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai inisiatif DPR.

Dengan kesepakatan itu, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan RUU TPKS selanjutnya akan dibahas bersama pemerintah sebelum disahkan sebagai Undang-Undang.


Melalui layanan psikologi SEJIWA, KemenPPPA memberikan pendampingan bagi para perempuan dan anak terdampak Covid-19, seperti perempuan korban KDRT, perempuan dalam situasi darurat dan kondisi khusus, perempuan pekerja migran, perempuan disabilitas, serta anak yang memerlukan perlindungan khusus.

Masyarakat dapat konsultasi dengan tenaga psikolog melalui hotline 119 ext. 8 yang juga merujuk kepada hotline unit pengaduan Kementerian PPPA (0821-2575-1234/0811-1922-911) atau melalui situs pengaduan.

Anda juga dapat melaporkan kasus yang Anda alami sendiri atau yang Anda saksikan kepada LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilanmelalui situs pengaduan.






Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x