Kompas TV bbc bbc indonesia

Pengungkapan Pajak Sukarela: Wajib Pajak Kaget karena Merasa 'Tidak Pernah Ngemplang'

Kompas.tv - 15 April 2022, 10:21 WIB
pengungkapan-pajak-sukarela-wajib-pajak-kaget-karena-merasa-tidak-pernah-ngemplang
Ilustrasi pajak. (Sumber: iStockphoto)
Penulis : Edy A. Putra

 

Pekan terakhir Maret, Jennifer mengaku kaget ketika mendapatkan surat elektronik dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dia diminta mengikuti program Pengungkapan Pajak Sukarela (PPS), karena tidak melaporkan sejumlah hartanya kepada negara. Program itu serupa dengan pengampunan pajak atau tax amnesty, yang sudah lebih dulu dikenal.

 

Surat elektronik yang datang di hari Jumat itu, diakui Jennifer, menambah beban pikirannya.

"Aku lagi nggak kerja, terus tiba-tiba dapat kayak gitu, kan aduh ampun, jadi pusing. Mana sudah nggak ada pemasukan, kalau didenda, matilah!" ujar Jennifer yang meminta identitasnya disamarkan untuk artikel ini.

Surat dari DJP itu menyebut Jennifer tidak melaporkan hartanya yang berjumlah lebih dari Rp50 juta. Harta itu, kata dia, masuk dalam kategori investasi.

Perempuan yang sedang menempuh studi di Eropa itu mengakui bahwa dirinya memang tidak melaporkan investasi yang dia lakukan karena menurut sepengetahuan dia, jenis investasi itu tidak termasuk ke dalam obyek pajak.

Meski begitu, Jennifer mengatakan selalu melaporkan penghasilannya secara rutin melalui pelaporan SPT Tahunan.

Dia mengira hal terpenting dalam pelaporan pendapatannya tiap tahun adalah pemasukan yang dia dapat. Jadi, dia mengabaikan pencatatan hartanya.

Oleh sebab itu, dia merasa kebingungan ketika mendapatkan surat tersebut.

"Aku cuma invest saja kan, aku dari dulu nabung, supaya kalau aku S2 ada duit. Bukannya aku punya rumah banyak, terus nggak bayar pajak. Aku SPT juga selalu lapor," kata Jennifer.

Baca juga:

Jennifer bukan satu-satunya orang yang berpikir bahwa program pengampunan pajak, atau yang dikenal dengan tax amnesty, hanya berlaku untuk para konglomerat yang tidak melaporkan hartanya untuk menghindari pembayaran pajak dengan nominal yang lebih besar.

Di media sosial Twitter, ada beberapa akun juga mempertanyakan hal yang sama. Tak sedikit juga yang sama kagetnya dengan Jennifer. Hal itu terlihat dari cuitan mereka kepada akun @kring_pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Neilmaldrin Noor, mengatakan baik PPS ataupun tax amnesty "bukan merupakan program yang dikhususkan untuk orang kaya saja, namun semua wajib pajak yang belum melaporkan atau mengungkapkan kewajibannya".

Kini Jennifer sedang menyiapkan data-data yang dia butuhkan dan menghitung jumlah investasinya untuk membereskan masalah tersebut. Dia mengaku harus cermat dan berhati-hati melakukan penghitungan karena jika ada yang tidak sesuai, dia bisa dikenakan denda yang lebih besar.

Menurut informasi dari DJP, wajib pajak bisa mengikuti PPS dengan denda 14% atau melakukan pembetulan.

"Boleh saja dilaporkan dalam pembetulan SPT, namun sesuai ketentuan, jika Direktorat Jenderal Pajak menemukan atas perolehan harta tersebut belum dilakukan pembayaran pajaknya, maka dapat dikenakan sanksi pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak sebesar 200% dari PPh yang kurang dibayar dan sanksi pasal 13 Undang-Undang KUP berupa sanksi kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayarkan," kata Neil.

Namun, Jennifer belum menentukan langkah mana yang dia ambil. Program PPS sendiri akan berakhir pada Juni 2022.

Pencatatan tidak sesuai

Di hari yang sama, Sarah (juga bukan nama sebenarnya), mendapat surat elektronik serupa dari DJP. Namun, menurut Sarah, isi surat itu keliru. Kepada BBC News Indonesia, dia menjelaskan tiga poin yang dinilai tidak sesuai dengan yang dia laporkan.

Pertama, pada jenis harta kas dan setara kas. Sarah mengatakan data DJP mencatat kas dan setara kasnya nol, sementara dia melaporkan nominal tertentu dalam jenis harta itu.

Kedua, pada jenis harta investasi. "Data yang saya laporkan lebih banyak daripada data yang mereka punya. Perbedaannya lumayan signifikan, data yang saya laporkan kurang lebih tiga kali lebih banyak," ujar Sarah.

"Dan yang terakhir, yang mengejutkan adalah, jenis harta tidak bergerak. DJP bilang ada jenis harta satu lagi, jumlahnya Rp600 juta, sementara data SPT Tahunan disampaikan harta jenis ini nol.

"Pada kenyataannya saya punya satu rumah atas nama saya jumlah tidak di atas Rp600 juta itu, tapi memang saya revisit SPT saya via online dan memang sudah didaftarkan. Jadi saya tidak tahu yang Rp600 juta ini apa," kata Sarah menjelaskan.

Perempuan berusia 29 tahun itu mengatakan ada beberapa rekannya juga yang mengalami nasib serupa. Sarah pun heran dan mempertanyakan data yang dipakai DJP.






Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x