Kompas TV bisnis kebijakan

Makan Minum Terus Beli Baju di Mal Kena PPN 11 Persen Enggak? Ini Penjelasannya

Kompas.tv - 2 April 2022, 06:10 WIB
makan-minum-terus-beli-baju-di-mal-kena-ppn-11-persen-enggak-ini-penjelasannya
Ilustrasi - Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen tidak akan memberatkan masyarakat menengah ke bawah. (Sumber: tribunnews.com)
Penulis : Dina Karina | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen mulai hari ini, Jumat (1/4/2022). Meski hanya naik 1 persen, sejumlah ekonom menilai dampaknya akan cukup memberatkan masyarakat karena dilakukan bertepatan dengan awal bulan puasa.

Seperti diketahui, momen bulan Ramadan sudah seperti momen tahunan untuk kenaikan harga hampir segala jenis barang. Mulai dari daging sapi di pasar becek sampai minyak wangi di pusat perbelanjaan modern.

Lewat keterangan resminya, Kementerian Keuangan menyosialisasikan daftar barang dan jasa yang dikecualikan atau dibebaskan dari PPN. Untungnya daging sapi termasuk dalam daftar tersebut. Kalau tidak, mungkin dari jauh-jauh hari Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah didemo emak-emak.

Tapi untuk minyak wangi lain soal. Misalnya, lepas 1 minggu Ramadan berjalan, Anda memutuskan ikut buka puasa bersama di mal dengan rekan-rekan kantor. Saat makan di restoran sushi favorit lalu ngopi-ngopi di Starbucks, Anda masih belum membayar PPN.

Baca Juga: Mahfud MD soal Kasus BLBI: Pokoknya Kami Sita Dulu, Anda Silakan Berdebat

Jangan keliru, pajak yang tercantum di struk pembayaran restoran itu bukan PPN, tapi Pajak Restoran atau Pajak Bangunan 1 (PB1). Besar tarifnya memang sama dengan tarif PPN yang lama, 10 persen.

Lagipula, makanan dan minuman yang dijual di restoran itu satu golongan dengan daging sapi dan sembako. Sama-sama barang bebas PPN.

Nah, kalau setelah acara makan dan ngopi itu Anda mampir beli baju, sepatu, perhiasan emas, dan minyak wangi buat persiapan Lebaran, di situlah ada PPN. Belum lagi kalau ternyata pulsa internet habis, pacar minta dibelikan voucher gim, lalu harus bayar langganan Netflix, kena lagi bayar PPN 11 persen.

Kalau dilihat angkanya seperti tidak signifikan, tapi ada juga anggota masyarakat yang protes. Penulis pernah mendengar celetukan seorang teman sejawat.

Baca Juga: Jokowi akan Ajak Kepala Negara Anggota G20 Lihat Uji Coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung

"Upah naik enggak sampai 1 persen, PPN naik 1 persen!" kata kawan itu sambil emosi.

Sekadar mengingatkan, kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diumumkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah beberapa bulan lalu adalah sebesar 1,09 persen. Meskipun pada praktiknya, pemerintah kabupaten/kota ada yang menaikkan UMP lebih dari itu.

Di lain pihak, Sri Mulyani selalu menekankan, kenaikan PPN itu adalah salah satu bentuk penerapan asas keadilan dalam perpajakan. Karena yang mampu membeli barang-barang di atas, di mal yang dingin karena ber-AC, kebanyakan kalangan menengah ke atas.

Makanya di berbagai kesempatan, bendahara negara itu selalu menegaskan kenaikan PPN ini tidak akan memberatkan masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Baca Juga: Harga Pertamax Naik Sampai Rp13.000 per Liter, Warga Diprediksi Beralih ke Pertalite

Lantas apa lagi barang/jasa yang dipungut PPN? Dalam aturannya, Ditjen Pajak Kemenkeu menyebutkan kategori barang/jasa yang kena PPN adalah:

-Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP).

- Impor barang kena pajak (BKP) dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP)/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

- Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKO 

- Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan

Baca Juga: Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen Hari Ini, Cek Daftar Barang/Jasa yang Bebas PPN

- Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Sedangkan pengaturan cakupan BKP dalam UU PPN bersifat "negative list". Artinya, pada intinya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN seperti yang sudah disosialisasikan pemerintah.

 




Sumber : KompasTV


BERITA LAINNYA



Close Ads x