“Apakah Jepang misalnya akan mendapat satu kawasan ekonomi khusus di rute yang dilewati, yang khusus dia bisa kelola sendiri,” tambahnya.
Baca Juga: Pemerintah Jamin Kereta Cepat, Rachmat Gobel: APBN Jadi Tak Adil, Harusnya untuk Kemaslahatan Umum
Ia mencontohkan kawasan Walini di Kabupaten Bandung Barat, yang tidak jadi dilintasi kereta cepat padahal sudah ada investor yang mau mengembangkan wilayah itu. Stasiun akhir kereta cepat saat ini hanya sampai Tegalluar, yang wilayahnya juga masih sepi.
Proyek kereta cepat selanjutnya juga tergantung dari political will presiden pengganti Joko Widodo atau Jokowi. Lantaran saat ini kondisi keuangan BUMN yang terlibat proyek KCJB juga sedang tidak baik-baik saja, seperti PT KAI dan PT Wijaya Karya.
“Kasihan KAI, itu PR besar BUMN kalau pemerintah punya obsesi besar,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan nasib transportasi lainnya jika ada Kereta Cepat Jakarta-Surabaya. Mulai dari kereta api jarak jauh, jalan tol, hingga maskapai penerbangan.
Baca Juga: KA Cepat Jakarta-Surabaya Masuk Blueprint Kemenhub: Gunakan Kereta Merah Putih Buatan INKA
“Bagaimana nasib rel kereta yang lain? Bagaimana nasib Tol TransJawa? Bagaimana nasib pengembalian investasi bandara? Selamat tinggal operator Lion, selamat tinggal Garuda Indonesia,” kata Yayat.
Ia menuturkan, sebenarnya KAI bisa memacu armada kereta jarak jauhnya hingga kecepatan 120 km-160 km. Namun mereka tidak berani melakukan itu karena masih banyak perlintasan sebidang.
Yayat mengusulkan, daripada bergantung pada kereta cepat, lebih baik memperbaiki infrastruktur perkeretaapian yang sudah ada. Pemerintah lebih baik meningkatkan kualitas hingga layanan perkeretaapian.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.