Kompas TV feature tips, trik, dan tutorial

Terjebak dalam "Hustle Culture", Budaya Gila Kerja yang Sama Sekali Tidak Keren

Kompas.tv - 6 Oktober 2021, 15:36 WIB
terjebak-dalam-hustle-culture-budaya-gila-kerja-yang-sama-sekali-tidak-keren
Ilustrasi hustle culture. (Sumber: Unsplash/Elisa Ventur)
Penulis : Fiqih Rahmawati | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Sebagian dari kita mungkin sepakat jika bekerja merupakan suatu rutinintas penting agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Terkadang tanpa sadar kita bekerja secara berlebihan hingga menggadaikan banyak waktu, tenaga, pikiran, hingga kesehatan.

Kondisi tersebut disebut dengan istilah hustle culture, bekerja terlalu keras hingga menjadi gaya hidup. Selama bertahun-tahun, overworking telah dimodernisasi hingga menjadi hustle culture.

Baca Juga: Kenali Penyebab dan Cara Mencegah Burnout, Bisa Menurunkan Kualitas Hidup

Mereka yang menggunakan hustle culture sebagai gaya hidup tidak memiliki banyak waktu untuk sekadar bertemu kerabat, minum kopi tanpa memikirkan pekerjaan, atau tidur sepanjang hari untuk istirahat.

Bekerja di mana pun, di kantor, di rumah, bahkan di kedai kopi dilakukan. Dunianya hanya berisi pekerjaan semata.

Gaya hidup hustle culture kebanyakan dialami oleh anak muda atau fresh graduate. Mereka harus bekerja keras karena tuntutan kebutuhan hidup.

Mungkin sebagian dari kita akan bertanya, “Apa salahnya bekerja terlalu keras untuk mencapai tujuan hidup? Namun, bekerja terlalu keras dalam istilah hustle culture memiliki sejumlah efek samping yang justru berbahaya.

Baca Juga: Catat! Ini 10 Skill Pekerjaan yang Paling Dicari Tahun 2025

Bahaya hustle culture

Melansir blog Runrun It, Rabu (6/10/2021), hustle culture tidak sehebat yang dibayangkan. Menjadi gila kerja sama sekali tidak keren. Budaya ini justru memunculkan efek samping yang berbahaya bahkan mengancam nyawa.

1. Kesehatan mental terancam

Telalu banyak bekerja menyebabkan kesehatan mental memburuk. Mereka yang menerapkan hustle culture sebagai gaya hidup mungkin lebih banyak merasakan kecemasan dan kecenderungan yang lebih besar untuk depresi.

Bukankah tidak sepadan, jika menggadaikan kesehatan mental dengan menerapkan gaya hidup hustle culture?

2. Mengurangi produktivitas

Bekerja secara terus menerus mungkin terkesan memiliki produktivitas yang tinggi. Nyatanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa bekerja selama berjam-jam justru merusak produktivitas dan kreativitas dalam jangka panjang.

Hustle culture hanya mempromosikan untuk menyelesaikan tugas sebanyak mungkin sehingga kualitas pekerjaan yang dihasilkan menjadi kurang diperhatikan.

3. Hustle culture membunuh

Bekerja secara terus menerus tentu saja berdampak buruk pada kesehatan fisik seseorang. Bayangkan saja, berapa banyak waktu istirahat yang berkurang gegara overworking.

The Guardian pernah melaporkan bahwa seorang jurnalis berusia 31 tahun bernama Miwa Sado meninggal setelah mengalami gagal jantung karena menghabiskan 159 jam untuk lembur.

Baca Juga: Tsundoku, Istilah untuk yang Suka Beli Buku Banyak tapi Tak Pernah Membacanya

Jadi, apakah hustle culture masih terlihat keren? Budaya ini justru harus dihentikan dengan ‘berhenti mengagungkan bahwa bekerja berlebihan itu baik’.



Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Runrun It



BERITA LAINNYA



Close Ads x