“Awalnya dia tidak mengerti. Tapi saat melihat saya kesakitan, dia mulai menyemangati saya untuk mencapai Camp 3,” terang Varshney menyebut camp terakhir sebelum puncak.
Pada akhirnya, Varshney pun memutuskan terus mendaki selama 3-4 jam demi menapaki puncak idamannya di ketinggian 6.812 meter di atas permukaan laut itu.
“Saya telah menanti hari ini selama berbulan-bulan. Menyerah bukan pilihan, tapi saya merasa bahwa tubuh saya tak mendukung. Hari itu hari besar dan penting buat saya. Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain dengan menstruasi mendadak ini,” ujar Varshney.
Baca Juga: Pria China Menjadi Pendaki Buta Asia Pertama yang Sampai ke Puncak Gunung Everest
Varshney menduga, sejumlah faktor seperti cuaca dan stres turut menjadi penyebab tak teraturnya siklus menstruasinya. Namun, ia tak ambil pusing.
“Buat saya, itu hanya satu hari buruk, karena saya telah menanti-nanti momen mencapai puncak sekian lama. Apalagi, dari puncak Ama Dablam, saya dapat melihat Gunung Everest sangat dekat,” ujarnya bahagia.
Varshney pun akhirnya berhasil mencapai puncak Ama Dablam. Namun, ia baru bisa menggunakan cawan menstruasinya yang ramah lingkungan saat kembali ke Camp 2.
Baca Juga: Puncak Everest Memiliki Ketinggian Baru
Merenungi perjalanannya, Varshney menyebut bahwa mestruasi mendadak yang dialaminya merupakan berkah terselubung.
“(Menstruasi) ini membuat saya melampaui batas saya. Saya tidak akan tahu seberapa kekuatan saya jika (menstruasi) ini tidak terjadi. Dan saya rasa, seorang perempuan bisa menjadi sekuat yang dia inginkan, sekaligus rapuh. Dan kita harus merengkuh keduanya,” tutur Varshney.
Keberhasilan Varshney menapaki puncak Ama Dablam merupakan batu loncatan bagi impiannya selanjutnya, menggapai atap dunia, Gunung Everest.
Sumber : The Indian Express
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.