Kompas TV internasional kompas dunia

Kehabisan Lahan, Gedung Tinggi Hong Kong Kini Menjadi Pemakaman Mewah Abu Jenazah Warga

Kompas.tv - 27 Juni 2023, 14:05 WIB
kehabisan-lahan-gedung-tinggi-hong-kong-kini-menjadi-pemakaman-mewah-abu-jenazah-warga
Menara 12 lantai ini  disangka sebagai salah satu hotel terbaru di Hong Kong, tetapi sebenarnya adalah tempat tinggal yang lebih lama: tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan orang di salah satu kota paling padat di dunia. (Sumber: France24)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Iman Firdaus

HONG KONG, KOMPAS.TV – Dengan lorong marmer putihnya dan lampu gantung mewah, menara 12 lantai ini bisa disangka sebagai salah satu hotel terbaru di Hong Kong, tetapi menawarkan tempat tinggal yang lebih lama: tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan orang di salah satu kota paling padat di dunia.

Seperti dikisahkan France24, Selasa (27/6/2023), Hong Kong dengan 7,3 juta penduduk adalah salah satu wilayah dengan kepadatan tertinggi di bumi, dan pada masa lalu, keluarga yang berduka harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan tempat bagi abu orang yang mereka cintai.

Akhirnya Kolumbarium (laci penyimpan abu jenazah) Shan Sum dibuka bulan lalu, menawarkan 23.000 ruangan untuk tempat penyimpanan guci abu pemakaman, sebagai bagian dari upaya pemerintah selama satu dekade terakhir melibatkan perusahaan swasta untuk meredakan tekanan pada sektor pengurusan kematian.

Kebijakan itu kini membuahkan hasil setelah populasi yang menua di kota ini mendorong tingkat kematian melampaui kapasitas pemerintah pada pertengahan 2010-an, menciptakan kekurangan yang serius.

Bangunan modern yang elegan ini karya arsitek Jerman, Ulrich Kirchhoff, 52 tahun, yang seperti dikutip France24 mengatakan ia mencoba memadukan elemen-elemen alam ke dalam ruang dengan kepadatan tinggi untuk menciptakan "atmosfer lingkungan pedesaan". 

"Ini gedung apartemen untuk orang mati... terasa seperti lingkungan yang saling kenal," katanya.

Kirchhoff mengatakan desainnya terinspirasi oleh pemakaman tradisional Cina, yang sering terletak di lereng gunung. Kolumbariumnya mengusung garis-garis yang bergelombang, kehijauan, dan tekstur batu yang diukir.

Abu disimpan dalam kompartemen yang indah, beberapa berukuran kecil, sekitar 26 x 34 sentimeter, yang melapisi dinding ruangan berpendingin udara.

Kirchhoff mengatakan ia merancang ruangan di setiap lantai untuk memberikan kedekatan, berbeda dengan ruang terbatas di kolombarium publik yang, menurutnya, terasa seperti berada di "gudang".

"Bagaimana kita menjaga kualitas hidup dan martabat bagi orang-orang di daerah dengan kepadatan tinggi ini?" tanya Kirchhoff, "Apakah itu hanya seperti kotak sepatu atau ada sesuatu yang lain?"

Baca Juga: Festival Bakpao Hong Kong yang Dicintai Kembali Hadir Setelah Tiga Tahun Menghilang

Sang perancang gedung orang mati, Ulrich Kirchhoff. Menara 12 lantai ini bisa disangka sebagai salah satu hotel terbaru di Hong Kong, tetapi sebenarnya adalah tempat tinggal yang lebih lama: tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan orang di salah satu kota paling padat di dunia. (Sumber: France24)

Kekurangan Ruang Penyimpanan Guci Abu Jenazah

Seperti apartemen di Hong Kong, biaya sewa unit-unit ini tidak murah, sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar orang.

Pilihan dasar untuk abu dua orang di Shan Sum dijual seharga 58.000 Dollar AS, sementara paket kelas atas, yang ditujukan untuk satu keluarga, biayanya hampir 3 juta Dollar AS. Pendapatan rumah tangga bulanan rata-rata di Hong Kong saat ini sekitar 3.800 Dollar AS, menurut data pemerintah.

Tempat-tempat seperti Shan Sum dibuat sebagai tanggapan atas kekurangan ruangan guci abu orang mati di Hong Kong satu dekade yang lalu.


Pada saat itu, sisa-sisa yang dikremasi sering disimpan di laci-laci di rumah duka selama bertahun-tahun sambil menunggu tempat kosong, atau ditempatkan di kolumbarium ilegal di kuil-kuil atau gedung pabrik yang direnovasi.

Seorang sejarawan bernama Chau Chi-fung, yang menulis sebuah buku tentang praktik pemakaman di Hong Kong, mengatakan benih krisis ini ditanam beberapa dekade sebelumnya oleh pemerintahan kolonial Inggris, sebelum kota ini diserahkan kepada China tahun 1997.

"Pada saat itu, undang-undang sangat ketat tentang cara memperlakukan jenazah, tetapi begitu jenazah berubah menjadi abu, pemerintah tidak punya kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi hal tersebut," katanya.

Populasi etnis Tionghoa di Hong Kong secara historis lebih memilih pemakaman, tetapi pemerintah mempopulerkan kremasi pada tahun 1960-an, perubahan yang terjadi di pusat-pusat perkotaan padat di seluruh Asia.

Sekarang sekitar 95 persen orang mati di Hong Kong dikremasi setiap tahun, yang menurut Chau disebabkan oleh perubahan adat istiadat sosial.

Pemerintah memperkirakan jumlah kematian akan meningkat sebesar 14 persen menjadi 61.100 per tahun tahun 2031.

Pejabat pemerintah mengatakan kota ini sudah siap menghadapi peningkatan tersebut, dengan tingkat kekosongan sekitar 25 persen di antara 425.000 tempat kolumbarium publik yang ada saat ini, dan pasokan publik dan swasta sedang dalam persiapan.

Baca Juga: Jam Tangan Kaisar Terakhir China Terjual dalam Lelang seharga Rp76 Miliar di Hong Kong

Menara 12 lantai ini bisa disangka sebagai salah satu hotel terbaru di Hong Kong, tetapi sebenarnya adalah tempat tinggal yang lebih lama: tempat peristirahatan terakhir bagi ribuan orang di salah satu kota paling padat di dunia. (Sumber: France24)

"Kondisinya membaik dibandingkan beberapa tahun yang lalu... Masalahnya sudah sedikit teratasi, tetapi belum terselesaikan," kata Chau.

Wing Wong, 43, tahun lalu menguburkan ayahnya di Kolumbarium Tsang Tsui, kompleks seluas 4.800 meter persegi di sudut barat laut Hong Kong yang mulai beroperasi tahun 2021.

Dia mengatakan pengalamannya sangat berbeda dengan kisah horor yang pernah diberitakan beberapa tahun lalu, "Kehilangan orang yang kita cintai sudah cukup menyakitkan. Ini akan menjadi siksaan bagi keluarga jika mereka tidak dapat menemukan tempat untuk abunya, tanpa tahu berapa lama mereka harus menunggu," katanya.

Wong mengatakan keluarganya memilih lokasi yang dijalankan oleh pemerintah karena feng shui yang baik, dan harga yang terjangkau, yang berarti mereka tidak punya insentif untuk mempertimbangkan opsi swasta.

"Ayah saya pernah mengatakan ia ingin melihat pemandangan laut... Tempatnya (ruangan) menghadap ke laut, dan kami merasa itu adalah apa yang ia inginkan."



Sumber : France24



BERITA LAINNYA



Close Ads x