Kompas TV internasional kompas dunia

Kanada Kecam Rencana Israel Menyerbu Rafah

Kompas.tv - 19 Februari 2024, 06:30 WIB
kanada-kecam-rencana-israel-menyerbu-rafah
Menteri Luar Negeri Melanie Joly menyebut serangan Israel di kota Rafah di selatan Gaza tidak dapat diterima karena warga Palestina tidak memiliki tempat lain untuk pergi (Sumber: Saltwire)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Gading Persada

OVIEDO, KOMPAS.TV - Serangan Israel di kota Rafah di selatan Gaza dianggap "tidak dapat diterima karena warga Palestina tidak memiliki tempat lain untuk pergi," kata Menlu Kanada Melanie Joly, Minggu (18/2/2024).

"Kami percaya pada hak Israel untuk eksis, kami juga punya kebijakan luar negeri yang seluruhnya tentang keamanan manusia, dan perlindungan warga sipil adalah inti dari semua yang kami lakukan," ujar Joly saat berbicara dalam diskusi panel di Konferensi Keamanan Munich Jerman, seperti dilaporkan oleh Anadolu, Minggu (18/2).

"Saya percaya setiap nyawa warga sipil, baik itu warga Israel atau Palestina, adalah setara. Konflik ini telah mencapai proporsi yang tidak dapat diterima," tambahnya kemudian.

Sebanyak 1,5 juta warga Palestina yang sebelumnya terusir akibat serangan Israel di Gaza kini berada di Rafah, mencari perlindungan dari serbuan Israel yang telah merusak luas wilayah Palestina.

Rencana Israel untuk menyerbu Rafah, kini dengan ancaman terbaru bahwa Rafah akan diserbu pada bulan Ramadan, telah memicu kekhawatiran internasional, dengan banyak negara mendesak pembatalan operasi tersebut.

Dalam pembicaraan tentang situasi Palestina dan Israel dengan rekan-rekan setara dari Spanyol dan Yordania, serta mantan menteri luar negeri Israel, Joly merinci visi Kanada untuk perdamaian yang berkelanjutan.

Pertama, kata Menlu Israel, "kita membutuhkan pemerintahan Israel yang bersedia untuk membahas solusi dua negara."

Pada saat yang sama, katanya, negara-negara Arab harus normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, yang melibatkan perjanjian keamanan antara Israel dan Arab Saudi.

"Kita bisa punya Konferensi Keamanan Munich yang sangat berbeda tahun depan. Tapi waktu sangat penting; kita hanya punya beberapa bulan," katanya.

"Netanyahu tidak bisa terus melanjutkan perangnya."

Baca Juga: Pejabat Hamas Ismail Haniyeh Tegas: Kami Tak Terima Apapun Kecuali Penghentian Total Agresi Israel

PM Israel Benjamin Netanyahu.  (Sumber: Times of Israel)

Negara Palestina Besok, Bukan Lusa

Joly menambahkan penting "memberikan tekanan" pada Netanyahu dan membedakan antara pemerintahannya dan negara Israel.

Dalam jangka pendek, katanya, yang dibutuhkan adalah kesepakatan tawanan dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza untuk membangun momentum politik, karena, katanya, "mitra yang baik" saat ini belum ada.

Dalam percakapan itu, Menlu Spanyol, Jose Manuel Albares sedikit tidak setuju, mengatakan yang dibutuhkan saat ini adalah gencatan senjata permanen serta pembebasan tawanan.

Dan katanya, yang dibutuhkan "besok, bukan lusa, adalah negara Palestina merdeka."

Albares mendefinisikan visi Spanyol untuk negara Palestina merdeka sebagai "Gaza dan Tepi Barat, di bawah satu otoritas Palestina tunggal, terhubung oleh koridor dengan akses ke laut dan dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur."

Deskripsinya mendapat anggukan persetujuan dari Joly namun dihadapi penolakan dari mantan Menlu Israel, Tzipi Livni, yang mengatakan koridor tersebut tidak ada pada tahun 1967 dan situasinya "lebih kompleks" daripada "slogan-slogan yang beberapa orang gunakan."

Albares menambahkan Israel adalah "sahabat bagi Spanyol" namun mengatakan pemerintahannya tidak akan "mengurangi suara dalam membela warga Palestina."

"Saya tidak melihat ada visi politik di balik semua kekerasan ini," tambahnya, mengatakan harapan rakyat Palestina untuk negara yang realistis "sepenuhnya terkait" dengan keamanan Israel.

Hampir 29.000 warga Palestina per hari Minggu (18/2) tewas dibunuh Israel di Gaza, dengan lembaga-lembaga PBB memperingatkan rencana serangan darat di Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir, akan memiliki konsekuensi malapetaka bagi warga sipil.

Perang Israel telah mengusir 85% dari penduduk Gaza menjadi pengungsi internal di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang akut, sementara 60% dari infrastruktur rusak atau hancur, menurut PBB.

Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional. Putusan sementara pada bulan Januari memerintahkan Tel Aviv untuk memastikan pasukannya tidak melakukan tindakan genosida dan menjamin bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.


 




Sumber : Anadolu


BERITA LAINNYA



Close Ads x