TEHERAN, KOMPAS.TV - Kandidat calon presiden reformis menang pada putaran perdana pemilihan presiden (Pilpres) Iran.
Namun, ia harus melakoni putaran kedua pada 5 Juli mendatang.
Hal itu dikarenakan tak ada satu pun dari empat kandidat calon presiden Iran yang mengamankan lebih dari 50 persen suara pada pemungutan suara, Jumat (28/6/2024).
Baca Juga: 3 Ledakan Bom Terjadi di Nigeria Termasuk di Acara Pernikahan dan Pemakaman, 18 Orang Tewas
Dikutip dari CNN International, pemungutan suara ini menunjukkan partisipasi pemilih terendah dalam pemilihan presiden dalam sejarah sejak Republik Islam Iran didirikan pada 1979.
Juru Bicara Komite Pemilihan Presiden Iran Mohsen Eslami mengatakan, dari 60 juta pemilih yang memenuhi syarat, hanya 24 juta yang memberikan suara mereka, sehingga menghasilkan 40 persen jumlah pemilih.
Anggota parlemen reformis Masoud Pezeshkian yang menjadi pemenang putaran pertama dengan 42,5 persen suara.
Pada putaran kedua, ia akan menghadapi kandidat ultrakonsevarif garis keras yang juga mantan negosiator nuklir, Saeed Jalili, yang menerima 37.6 persen.
Hasil pemilihan putaran pertama akan ditinjau oleh Dewan Wali, badan kuat yang beranggotakan 12 orang, dan bertugas mengawasi pemilu dan undang-undang, sebelum kedua kandidat kembali memulai pemilihan lagi.
Pemilu sela ini diadakan setelah Presiden Iran Ebrahim Raisi tewas dalam kecelakaan helikopter pada 19 Mei lalu.
Ketika itu, Raisi dinyatakan tewas bersama Menteri Luar Negeri Hossein Amir-Abodllahian dan sejumlah pejabat lainnya.
Sebelumnya, dua calon presiden dari konservatif memutuskan mundur dari pencalonan sehari sebelum pilpres.
Baca Juga: Pilpres Iran Lanjut ke Putaran Kedua, Pezeshkian Tantang Jalili
Mereka melakukan hal itu untuk membantu melakukan konsolidasi terhadap pemilih konservatif untuk menolong kandidat garis keras.
Pezeshkian sendiri merupakan satu-satunya kandidat reformis setelah puluhan lainnya dilarang mengikuti pemilihan presiden oleh Dewan Wali.
Proses pilpres Iran sendiri telah diwarnai oleh sikap apatis dari pemilih, sehingga mempermalukan pemerintahan yang mengandalkan jumlah pemilih tinggi untuk memperkuat kredibilitas demokrasi dan legitimasi rakyatnya.
Sumber : CNN Internasional
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.