HONG KONG, KOMPAS TV – Hong Kong tengah bersiap mengumumkan langkah-langkah kebijakan baru untuk mendorong pemulihan ekonominya dalam pidato tahunan kebijakan yang akan disampaikan Rabu (16/10/2024) besok.
Salah satu langkah yang dipertimbangkan adalah pengurangan tarif minuman keras, sebagai upaya untuk menghidupkan kembali pusat keuangan ini yang masih menghadapi tantangan pemulihan pasca-pandemi.
The Strait Times dalam laporannya, Selasa (15/10) menulis, ekonomi Hong Kong yang kecil dan terbuka sangat merasakan dampak melambatnya perekonomian China. Pertumbuhan ekonomi kota ini tercatat sebesar 3,3% pada kuartal kedua dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan diperkirakan tumbuh antara 2,5-3,5% sepanjang tahun ini.
Meski sektor pariwisata mulai pulih dengan perkiraan 46 juta wisatawan di akhir 2024, konsumsi dan belanja ritel masih lesu. Selain itu, pencatatan saham menurun drastis, dan arus modal keluar masih menjadi tantangan besar.
Pada Februari, Hong Kong mengumumkan serangkaian langkah untuk mendukung sektor properti, pariwisata, dan layanan keuangan. Namun, tantangan seperti lingkungan geopolitik yang kompleks dan defisit anggaran yang semakin membesar masih membayangi kebijakan tersebut.
Bulan lalu, dalam pertemuan antara pejabat tinggi China, Xia Baolong, dengan pemimpin Hong Kong, John Lee, Xia menekankan pentingnya reformasi ekonomi untuk mendukung pertumbuhan, sejalan dengan strategi nasional China. Ia mendesak pemerintah Hong Kong untuk memimpin dan menyatukan seluruh sektor masyarakat dalam mempromosikan reformasi tersebut.
Hong Kong tidak hanya menghadapi tantangan dari dalam, tetapi juga pengaruh kebijakan ekonomi China. Sektor properti negara ini, yang menjadi pilar utama perekonomian, masih mengalami tekanan besar. Harga properti telah turun sekitar 20% dari puncaknya di 2021. Banyak pihak berharap pemerintah akan mengambil langkah lebih agresif untuk menghidupkan kembali pasar properti.
Selain itu, pemotongan tarif minuman keras, yang saat ini mencapai 100%, diperkirakan akan diumumkan untuk menjadikan Hong Kong sebagai pusat perdagangan minuman keras di Asia, seperti halnya peran kota ini sebagai pusat perdagangan anggur setelah penghapusan bea impor anggur pada 2008.
Baca Juga: Kebijakan Ekonomi China: Peluang Munculnya Stimulus dan Tantangan Pemulihan Ekonomi
Namun, langkah-langkah ini dianggap belum cukup untuk menarik minat investor asing yang khawatir dengan stabilitas politik dan ekonomi Hong Kong, terutama di tengah peraturan keamanan nasional yang ketat. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat (AS), telah mengkritik John Lee atas tindakan represifnya yang menyebabkan banyak oposisi politik dipenjara dan media liberal ditutup.
Di sisi lain, Malaysia tengah mempersiapkan anggaran tahun 2025 yang akan diumumkan oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim pada Jumat, 10 Oktober 2024. Anwar diperkirakan akan memperkenalkan kebijakan pemotongan subsidi dan pajak baru untuk memperkuat posisi fiskal negara, di tengah prediksi penurunan pendapatan pemerintah.
Langkah-langkah baru seperti pajak barang mewah dan pajak minuman bergula diperkirakan akan diumumkan. Namun, pemerintah Malaysia diperkirakan tidak akan menghidupkan kembali pajak barang dan jasa (GST) yang sempat diusulkan, meskipun banyak pihak mendesak langkah tersebut untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama dengan penurunan kontribusi dari Petronas akibat harga minyak yang lesu.
Pada tahun ini, Petronas berencana menyumbang 32 miliar ringgit ke kas negara, turun dari 40 miliar ringgit pada 2023. Penurunan harga minyak dunia membuat tantangan bagi perusahaan tersebut untuk mempertahankan pembayaran dividen yang signifikan ke pemerintah Malaysia.
Baca Juga: Ekonomi China Melambat Bulan Agustus Saat Beijing Terus Berjuang Atasi Permintaan yang Lesu
Kebijakan ekonomi yang diambil oleh Hong Kong dan Malaysia dapat memberikan dampak signifikan bagi kawasan ASEAN. Hong Kong, sebagai salah satu pusat keuangan Asia, memegang peran penting dalam aliran investasi asing ke wilayah ini. Jika pemulihan ekonomi Hong Kong tersendat, dampaknya bisa dirasakan oleh negara-negara ASEAN yang mengandalkan hubungan perdagangan dan investasi dengan kota tersebut.
Sementara itu, kebijakan fiskal Malaysia yang lebih ketat dengan pengurangan subsidi dan pengenaan pajak baru dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Langkah-langkah ini penting untuk menjaga stabilitas fiskal, namun dapat menekan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat memengaruhi permintaan produk-produk dari negara tetangga di ASEAN.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 4,5% hingga 5,1% pada 2024, Malaysia harus hati-hati menyeimbangkan antara pertumbuhan dan konsolidasi fiskal, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global yang dipengaruhi oleh faktor geopolitik dan fluktuasi harga komoditas.
Sumber : Straits Times / Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.