Kompas TV kolom opini

Dari Jurang yang Dalam

Kompas.tv - 30 Januari 2021, 17:42 WIB
dari-jurang-yang-dalam
Ilustrasi: berdoa. (Sumber: triaskun.id)

Ada banyak tujuan, penyebaran hoaks, berita palsu. Misalnya untuk mempengaruhi keputusan politik dan juga ekonomi. Bisa juga membawa tujuan ideologis. Penyebaran berita hoaks, mengindikasikan sikap intoleran, hipersensitif, kebencian, dan arogansi. Inilah kekerasan bahasa yang menghancurkan.

Itulah, Bung, mengapa aku mendoakan De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam! Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku.

Begitu, sahabat itu menulis. Lalu, menambahkan. Tetapi, jangan salah sangka, Bung, meski demikian, aku tidak kehilangan pengharapan, walaupun doa itu sangat nggrantes. Meskipun, saya meratap.

Aku kira, bahkan aku yakin Bung, tidak hanya aku yang meratap seperti itu. Rakyat di negeri ini—sebagian besar—juga meratap. Rakyat di negara-negara lain, juga meratap dengan cara yang berbeda. Di mana-mana tertangkap wajah-wajah putus-asa. Di mana-mana terpancar wajah-wajah duka.

Mengapa orang-orang Belanda beberapa hari lalu mengamuk, misalnya? Meskipun, PM Belanda Mark Rutte menyebut orang-orang yang mengamuk itu—menyerang  polisi dan membakar segala macam benda menentang jam malam untuk memperlambat penyebaran Covid-19—sebagai “kekerasan kriminal”. Tetapi, itulah ungkapan keputuasaan.

Sejak pertengahan Desember lalu, pemerintah Belanda menutup sekolah dan tokoh-toko yang tidak menjual kebutuhan pokok. Kebijakan itu dilakukan menyusul penutupan bar-bar dan restoran-restoran dua bulan sebelumnya. Saat ini, di Belanda, sudah 13.540 orang meninggal karena Covid-19, dan 944.000 terifeksi.

Untung bangsa kita—walau ada yang menebarkan hoaks, menebar fitnah—masih punya nalar, punya hati, dan masih berkeadaban. Bahwa, kondisi sekarang ini berat, tidak ada yang memungkiri. Pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak psikologis dan sosial. Misalnya, terpisah dari orang-orang yang dicintai, hilangnya kebebasan, ketidakpastian tentang kemajuan penanganan, dan perasaan tidak berdaya.

Hal-hal tersebut dapat menimbulkan konsekuensi dramatis. Orang menjadi stress,  misalnya. Karena, memang, tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Tidak ada yang bisa mengatakan berapa lama atau seberapa dalam krisis ini akan terjadi. Dan tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti bagaimana dunia akan pulih dari pandemi Covid-19 ini atau, apakah kita akan melihat gelombang infeksi berulang.

Meskipun demikian, Bung, kita seperti melihat secercah cahaya di ujung lorong gelap dengan telah diketemukannya vaksin, dan dimulainya program vaksinasi. Bukankah harapan itu menghidupan. Spes salvi, harapan yang menyelamatkan.

Mereka yang memiliki harapan, bagaikan burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun tetap bisa hidup. Karena, ada “tangan Sang Penabur Benih,” yang memberi makan mereka. Itulah filosofi burung, Bung. Bukankah, manusia melebihi burung?

Pada akhirnya, Bung, harus diakui kedaruratan global ini telah membantu menunjukkan kepada manusia bahwa “tak seorang pun bisa menghadapi hidup sendirian” dan bahwa waktunya sungguh-sungguh telah tiba akan “mimpi sebagai satu keluarga umat manusia” di mana kita adalah “saudara-saudara  semua” (Fratelli tutti).

Artinya apa, Bung. Kita harus bersama-sama. Pandemi ini harus dihadapi bersama-sama. Kebersamaan menjadi kata kuncinya.

Bung, ketika pandemi Covid-19 ini berlalu, dunia yang ditinggalkan akan secara fundamental berbeda dari sebelumnya. Kita akan dihadapkan pada normal baru. Entah seperti apa. Semoga kita adalah “saudara-saudari semua,” yang memegang teguh prinsip bonum communae bono private praeferri debet, kepentingan umum harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi.

Mari Bung, kita daraskan bersama-sama, De profundis clamavi ad te, Domine! Domine, exaudi vocem meam!….. Dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu, ya Tuhan! Tuhan, dengarkanlah suaraku…..

Sekali lagi, kita tidak meratap, Bung. Tetapi, memperteguh harapan akan berakhirnya pandemi ini dan lahirnya dunia baru. Bukankah, malam yang gelap gulita selalu buru-buru pergi ketika pagi datang?  ***

Sumber: Triaskun.id

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x