Kompas TV kolom opini

Pesan dari Puncak Golgota

Kompas.tv - 17 April 2022, 06:10 WIB
pesan-dari-puncak-golgota
Indonesia. (Sumber: Freepik)

Dengan menerima Pancasila itu, kata Kardinal, umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban, melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari Negara Republik Indonesia.

Mayoritas umat Muslim, melanjutkan semangat para pendiri bangsa yang beragama Islam, sampai sekarang menerima Pancasila sebagai ideologi Bangsa. Ideologi yang merupakan kesepakatan bersama seluruh unsur bangsa.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai arus utama umat Muslim yang mendukung NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila, menekankan ukhuwah wathoniyah, kerukunan dalam bingkai kebangsaan Indonesia, di samping ukhuwah islamiyah dan bahkan terbuka kepada ukhuwah insaniyah/basariyah, kerukunan berdasarkan: sama-sama manusia ciptaan Allah.

Terhadap arus radikalisme dan kekerasan, mereka bersikap: jalan tengah atau wasatiyyah tidak ekstrem ke kiri sampai kurang peduli terhadap agama, dan tidak ekstrem ke kanan sampai memandang hanya pahamnya yang benar dan menganggap salah semua yang lain dan memusuhinya.

Umat Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan para penghayat kepercayaan, sama-sama mendukung Pancasila sebagai ideologi bangsa dan NKRI.

Itu semua berarti bahwa dengan terang iman agama dan kepercayaan masing-masing, dengan penyelenggaraan Ilahi, terdorong untuk hidup sebagai warga bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila serasi dengan nilai-nilai dasar iman mereka masing-masing.

Empat

Maka kata Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii (2010), dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah.

Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama dan latar belakang sejarah kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.

Itulah udara kemanusiaan dalam keluarga manusia kita, yang terbebas dari kepentingan sempit. Karena kita semua berada di perahu yang sama, di tengah badai sejarah yang belum reda.

Karena itu, bukan tanpa alasan kalau Pak Jokowi, mengingatkan bahkan berpesan, jangan lagi membuat masyarakat terprovokasi oleh isu-isu politik identitas. Pak Jokowi, tidak ingin bangsa ini terpecah-belah karena nafsu kuasa bersenjatakan atau bermantel atau berselubung politik identitas. Pilkada DKI 2017, menjadi contohnya; juga Pemilu 2019.

Hanya keledai keras kepala, bodoh, dan dungu saja yang dua kali terperosok pada lubang yang sama. Begitu kata pepatah. Artinya, tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan dungu.

Kalau tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan dungu maka hanya manusia keras hati, keras kepala, bodoh, dan dungu yang hatinya diselubungi nafsu hewani saja yang terperosok untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Dan akhirnya, menjerumuskan bangsa ini ke jurang yang dalam.

Sebab, menggunakan politik identitas untuk meraih kekuasaan adalah pengingkaran terhadap pluralitas, kemajemukan bangsa ini. Politik identitas juga bentuk penyangkalan terhadap nilai-nilai demokrasi, hak-hak asasi manusia, toleransi, dan juga kesetaraan gender.

Bila demikian, kata Buya Syafii mengutip ucapan mantan presiden Ceko, Vaclav Havel, “….modern man has lost his transcendental anchor.”

Lima

Sebenarnya, 2000 tahun silam, pesan itu sudah pernah disampaikan di puncak Golgota. Di puncak bukit itulah tumbuh pohon kasih yang berbuah cinta. Cinta yang telah membebaskan manusia berpikiran sempit, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, golongannya sendiri.

Mereka yang terbebas dari kepentingan sempit -entah itu suku, agama, ras, kelompok, maupun golongan, dan segala yang membedakan- serta mengutamakan kepentingan bersama telah menegaskan martabat manusia sebagai pribadi. Pribadi yang penuh cinta.

Manusia yang terbebas dari kepentingan sempit -hati dan pikirannya- akan terus menabur kebaikan untuk kepentingan orang lain, menanamkan tindakan kebaikan dengan cuma-cuma, dan menjadikan dirinya bagian dari cakrawala rencana kebaikan Tuhan yang luar biasa.

Manusia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, yang dapat mengimani dan mencintai Sang Pencipta.

Inilah antara lain yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Meskipun tetap saja masih ada yang tidak bisa melepaskan “nafsu hewani”-nya. Kata Karen Armstrong, dorongan “mendahulukan aku” yang diwarisi manusia dari nenek moyang reptil ini bersifat otomatis, langsung, dan sangat kuat. Dorongan-dorongan itu memasuki semua kegiatan manusia, termasuk agama, dan sulit dilawan.

Maka itu, manusia yang telah terlepas dari kepentingan sempit itulah yang akan terbang dengan sayap seperti rajawali; meskipun berlari tidak akan menjadi lelah, meskipun berjalan tidak akan pernah lelah. Karena hidup dalam kebersamaan penuh cinta, seperti yang terasa di “Indonesia mini”, adalah wujud sebagai ciptaan yang paling mulia dari Sang Maha Pencipta.

Semoga demikian pula terjadi di “Indonesia Besar.”

Selamat Paskah 2022.

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x