Kompas TV kolom opini

Lelaki Tua dan Sandal Karet

Kompas.tv - 1 Mei 2022, 06:05 WIB
lelaki-tua-dan-sandal-karet
Kebun Raya Bogor. (Sumber: Kompas.com)

Tak lama kemudian, angkot berhenti. Naik seorang perempuan lebih muda dibanding perempuan pertama. Ia berhijab hitam. Berparas cantik. Bawaannya banyak, sepertinya baru dari belanja. Sejak duduk, ia juga memandangi lelaki tua penjual sandal itu. Meski dipandangi terus, lelaki tua itu diam saja. Bahkan menutup matanya seperti tidur, kepalanya disandarkan ke belakang.

Tak lama kemudian, perempuan berhijab hitam itu bergerak hendak turun. Tetapi, sebelum turun ia menyisipkan uang Rp 50 ribu ke kantong baju lelaki tua itu. Lelaki tua itu, membuka matanya dan terlihat agak kaget. Lalu, mengucapkan terima kasih berkali-kali.

Berbarengan dengan perempuan berhijab hitam itu, turun pula seorang perempuan muda, berusia sekitar tiga-puluh tahunan, yang sejak semula terlepas dari pengamatan saya. Ketika turun, ia bilang pada sopir sambil menyerahkan uang untuk ongkos lelaki tua penjual sandal itu.

Ketiga

Melihat semua itu, tulis   Romo Haruna, dalam hati  saya berkata, “Inilah indahnya berbagi. Inilah indahnya peduli pada sesama. Inilah wujud dari beriman tidak sekadar beragama.”

Benar yang dikatakan itu: berbagi dan peduli pada sesama memang indah. Inilah indahnya kehidupan. Orang-orang bijak mengatakan, apa pun yang kita miliki dapat menghasilkan buah jika kita memberi kepada orang lain yang membutuhkan dengan kerendahan hati.

Dengan demikian, belas kasih, welas asih, kepedulian bukan hanya kegiatan amal. Tapi itu merupakan buah dari hati yang sungguh tergerak: tergerak di dalam lapisan hidup kita yang paling mendasar. Welas asih itu adalah pemberian hidup dan menggerakkan apa yang baik. Belas kasih itu  membuat hubungan antara manusia menjadi dekat, setia, ramah dan penuh hormat.

Kata Komaruddin Hidayat (2017) inilah yang disebut ibadah sosial. Ibadah sosial ini banyak ragamnya, mulai dari yang paling sederhana misalnya memberi senyum, mendoakan, menolong, hingga yang tidak sederhana yakni  bersedekah. Kesemuanya itu ibadah sosial. Inilah kesalehan sosial.

Kesalehan sosial, selain kesalehan spiritual adalah keutamaan hidup yang diwujudkan dalam sikap dan praktik nyata. Kata Mgr Robertus Rubiyatmoko (2021), kesalehan sosial dihayati dan diwujudkan dalam cara hidup, cara berpikir, cara merasa, cara bertindak, dan cara memperlakukan sesama. Cara hidup seperti apa? Misalnya, peduli kepada sesama, solidaritas, dan semangat berbagi. Saat ini, yang paling sederhana misalnya adalah taat menaati protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuculi tangan, dan menjaga jarak.

Kesalehan sosial tidak bisa dilepaskan dari kesalehan ritual. Kesalehan sosial juga terungkap melalui sikap saling membantu dan saling mendoakan, memerteguh persaudaran dengan siapa saja tanpa sikap diskriminasi. Tentu, dalam perspektif kebangsaan, kesalehan sosial merupakan penerapan dari penghayatan dan pengamalan Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang adil dan beradab; persatauan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .

Maka kata Komaruddin, kesalehan beragama itu banyak jalan dan beragam ekspresinya, antara lain lewat kesalehan sosial itu. Itulah sebabnya, kita tidak dibenarkan merasa diri paling takwa, paling benar, paling saleh, lalu gampang menyalahkan dan meremehkan keberagamaan orang lain.

Sayangnya, hal semacam itu banyak terjadi di sekitar kita. Padahal, setiap orang juga tak ada yang bisa membebaskan diri dari berbuat salah dan dosa, dari kekurangan.

Keempat

Membaca cerita Romo Haruna  tentang pengalamannya di angkot, saya ingat yang ditulis Karen Armstrong (2009): agama itu bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran manusia, melainkan lebih pada perbuatan manusia. Iman tanpa perbuatan–tentu perbuatan baik–adalah omong kosong, mati.

Dengan kata lain, Armstrong ingin mengatakan, tidak ada gunanya menguasai teori-teori agama, hafal ayat-ayat kitab suci kalau tidak diwujudkan dalam tindakan nyata, bagi sesama manusia.Tahu bagaimana berbuat baik, tapi tidak memraktikkan ya tidak ada gunanya.

Bahkan, guru-guru bijak Upanishadik, kata Armstrong, mengatakan kebenaran agama hanya dapat diakses ketika kita siap untuk menyingkirkan egoisme, keserakahan, dan keasyikan pada diri sendiri yang berurat berakar dalam pikiran dan perilaku kita. Tetapi, juga merupakan sumber dari begitu banyak penderitaan kita.

Inilah salah satu persoalan besar di negeri kita. Padahal, kata Komaruddin, agama seharusnya menjadi peradaban manusia di segala bidang. Dengan kata lain, semakin beragama, semakin beradab, semakin berbudaya, semestinya. Dalam rumusan lain, Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan semakin beriman, semakin bersaudara.

Dan, dalam angkot dari Bogor ke Tangerang Selatan itu, ada  belas kasih, welas asih, ada kepedulian, ada persaudaraan. Inilah kiranya makna berpuasa dan lebaran: mempertebal sikap belas kasih, welas asih, kepedulian, dan persaudaraan.

Selamat Lebaran
1 Syawal 1443 H

 




Sumber : triaskun.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x