Kompas TV kolom opini

GOLEK JENENG

Kompas.tv - 7 Juni 2022, 15:36 WIB
golek-jeneng
Foto ilustrasi (Sumber: -)

Oleh Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

Aku tidak tahu, mengapa dia dipanggil Emak. Semua orang di rumah memanggilnya, Emak. Sejak kapan, dia dipanggil Emak? Aku juga tidak tahu.

Yang kutahu, dia berasal dari sebuah desa di Bojonegoro, Jawa Timur. Emak pinter motong rambut dan sering saya mintai tolong. Dia juga pinter me-make up orang lain.

Lebaran kemarin, Emak pulang kampung membawa serta empat koper gede-gede plus tas jinjing. Katanya semua isinya baju. Tidak ada oleh-oleh untuk keluarga di rumahnya.

Nama asli Emak–sesuai yang tertera di KTP dan buku tabungannya–adalah Anam. Keponakan saya–di rumah keponakan itulah, Emak tinggal kalau pas ke Jakarta–mengatakan nama lengkapnya Anam Nazula. Nama yang indah. Tetapi mengapa lebih populer dipanggil Emak.

Malah salah seorang saudara memanggilnya Rudy. Emak sangat enggak suka dipanggil Rudy. Biasanya, kalau dipanggil Rudy, dia tidak mau menoleh, beda dengan kalau dipanggil Emak. Dia suka. Mengapa? Saya tidak tahu juga.

Pernah suatu ketika saya bertanya padanya, mengapa dia dipanggil Emak? Emak tidak menjawab pertanyaan, hanya tersenyum.

****
Saya punya dugaan, pasti ada sejarah dan maknanya, mengapa Anam lebih suka dipanggil Emak. Meski William Shakespeare mengatakan, “What’s in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet.” Apalah artinya sebuah nama. Bunga mawar kalaupun diganti namanya tetaplah harum.

Masyarakat Jawa percaya dengan ungkapan ‘Asma kang Kinarya Japa’, nama sebagai sebuah pernyataan doa dan harapan. Nama adalah doa; doa orangtua.

Misalnya, kalau seorang laki-laki diberi nama “Slamet”, tentu orangtua berharap bahwa anaknya akan selalu selamat, terhindar dari segala marabahaya.

Kalau diberi nama “Utama”, orangtua berdoa anaknya akan menjadi orang yang mempunyai keutamaan. Dengan memberi nama anak lelakinya “Sadewa” (Sahadeva) orangtua berdoa agar anaknya diberkahi Sang Pencipta. Karena itulah arti nama “Sadewa”.

Anak yang diberi nama “Darsana” membawa doa dan harapan orangtuanya menjadi orang yang bisa menjadi teladan hal-hal yang baik dalam hidup. Meskipun ada yang menyimpang.

***
Apa Emak ingin populer, sehingga meninggalkan nama pemberian orangtuanya? Ah, popularitas macam apa yang dicari. Emak kan tidak butuh itu, tidak seperti mereka yang di musim golek jeneng berjuang mati-matian cari nama.

Mereka cari nama, bukan karena belum punya nama atau namanya hilang atau namanya kurang bagus, atau namanya kurang menjual, misalnya. Bukan! Tetapi karena alasan lain.

Mereka “cari nama” karena belum populer. Dengan popularitas itu, mereka berharap impiannya, keinginannya, cita-citanya akan tercapai. Misalnya ingin berkuasa, ingin merebut atau meraih kekuasaan, ingin menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Tentang  golek jeneng itu ada pepatah dalam bahasa Jawa yang berbunyi demikian: goleka jeneng nembe golek jenang atau  aja golek jenang ananging goleka jeneng. Jenang diibaratkan sebagai kekuasaan, sedangkang jeneng itu popularitas.

Kalau sudah punya jeneng  (populer) akan lebih mudah golek jenang. Tapi, golek jeneng itu tidak mudah, tidak bisa mendadak, tidak bisa instan seperti bikin kopi atau teh atau mi instan. Semua perlu usaha keras dalam segala hal, perlu ketekunan, kejujuran, prestasi, kerendahan hati, dan sebagainya.

Ibarat pepatah sapa sing tekun sanadyan nganggo teken mesthi tekan. Kalimat tersebut secara harfiah berarti “Siapa yang tekun, walau memakai tongkat, pasti akan sampai”

Artinya kurang lebih, siapa yang tekun walau dengan susah payah sampai memakai tongkat atau walau harus menempuh jalan panjang atau waktu yang panjang hingga tua maka akhirnya pasti sampai atau tercapai tujuannya.

Dengan kata lain jeneng (popularitas) itu tidak akan didapat hanya, misalnya pasang baliho besar-besar di mana-mana, kerap muncul di media sosial, bikin pernyataan kontroversial, menemui para pemimpin agama, berfoto dengan presiden, rajin blusukan, menjadi pembicara di sana-sini, dan memberikan bantuan sembako. Tetapi harus dengan kerja keras nyata dan jujur yang hasilnya dirasakan, berguna bagi masyarakat banyak, bukan bagi dirinya sendiri, atau kelompoknya.

Memang faktor popularitas ditambah akseptabilitas, dan elektabilitas adalah tiga faktor penting dalam pilkada dan pemilu nasional, pilpres. Akseptabilitas menjadi titik temu antara popularitas dan elektabilitas.

Tetapi ada banyak aspek yang akan menjadi pertimbangan rakyat untuk memilih seseorang (memang harus diakui, banyak rakyat di negeri ini dalam memilih seseorang lebih mendasarkan pada aspek finansial atau ekonomis, primordial dengan segala macam aspeknya; dan juga tentu aspek ideologis).

Yang waras–sehat jasmani dan rohani–mendasarkan pilihannya pada aspek kualitas, integritas, kompetensi, integritas, profesionalitas, personalitas, prestasi, reputasi, perilaku, kepemimpinan visi, misi, dan lain-lainnya. Semua itu akan menjadikan seseorang populer, aseptabel (diterima), dan dipilih akhirnya.

Pendek kata, rakyat (mungkin ada yang bertanya, rakyat siapa? Rakyat yang mana? Rakyat yang menginginkan negeri ini maju, bersatu, utuh, saling menghormati antar-warga, toleran, dalam naungan Pancasila dan UUD 1945), menginginkan seorang pemimpin yang menjadi pemimpinnya seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi pemersatu, yang tekun bekerja demi rakyat tidak hanya pandai ngomong, yang rendah hati dan jujur, yang penuh hikmat, yang tidak lagi mencari popularitas diri, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan pasti yang akan dengan sekuat daya dan upaya memertahankan NKRI yang ber-Pancasila dan ber-UUD 1945.

Tentu juga, pemimpin yang sepi ing pamrih rame ing gawe, bukan sepi ing gawe rame ing pamrih_.. jadi goleka jeneng sik nembe dengan cara yang benar, baru golek jenang….seperti Emak, yang tidak pernah cari nama….***




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x