Kompas TV kolom opini

Perseteruan Ganjar vs Puan: Perlu untuk Elektabilitas?

Kompas.tv - 14 Juni 2022, 19:21 WIB
perseteruan-ganjar-vs-puan-perlu-untuk-elektabilitas
Kolase Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. (Sumber: Kolase TribunKaltara.com / Kompas.com/Riska Farasonalia)

Alexander Wibisono, Wartawan KOMPAS TV

Perseteruan “Ganjar Pranowo dan Puan Maharani” terus ramai diperbincangkan di media massa, hingga media sosial. Sebetulnya sudah banyak sekali analisa tentang ini. Namun begitu, terbersit sejumlah pertanyaan: apakah betul mereka sesungguhnya berseteru? Atau ini hanya cara partai dalam mendominasi perbincangan publik sebelum menjatuhkan pilihan? Semacam testing the water.

Tidak Ada Musuh Abadi

Entah mana yang benar, tetapi mengikuti perseteruan tersebut saya teringat film The Spy Gone North (2018). Film karya sutradara Yoon Jong Bin itu menceritakan tentang agen Korea Selatan dengan kode black venus, yang ditugasi memata-matai fasilitas nuklir Korea Utara. Film tersebut dibuat berdasarkan kisah nyata di sekitar tahun 1990-an.

Plot yang paling menarik bagi saya adalah upaya badan intelijen Korea Selatan meminta bantuan Korea Utara untuk memenangkan calon dari petahana. Caranya, dengan menembakkan misil nuklir di kawasan genjatan senjata. Kenapa harus ditembakkan? Karena mobilisasi militer saja di zona demiliterisasi sudah terlalu biasa. Waduh. 

Baca Juga: Waduh, Rahasia Militer Korea Selatan Bocor ke Agen Korea Utara, Dua Orang Ditangkap

Tembakan misil itu dipercaya akan membuat calon pemilih berubah pikiran alias tidak mendukung calon Presiden Kim Dae-Jung, yang mengusung program reunifikasi dengan Korea Utara. Sebagai imbalannya, badan intelijen Korea Selatan akan membayar Korea Utara sebesar 4 juta dollar.

Namun rencana tersebut gagal, karena manuver black venus yang mampu meyakinkan pemerintah Korea Utara untuk menunda rencana tersebut, hingga pemilu selesai. Hasilnya, Kim Dae-Jung terpilih sebagai Presiden Korea Selatan ke-8 dan program reunifikasi pun dimulai.

Lalu, apa hubungannya dengan perseteruan “Ganjar Pranowo dan Puan Maharani”? Dalam perspektif film tersebut, maka tidak ada musuh abadi. Silahkan Anda pilih siapa yang menjadi Korea Utara dan Korea Selatan.

Politik adalah teori tentang kemungkinan. Termasuk menjadikan perseteruan sebagai strategi untuk menguasai perbincangan publik. Upahnya? Tingkat elektabilitas dalam survei.

Mendominasi Perbincangan Publik

Sejauh ini, perseteruan tersebut berhasil menempatkan Ganjar Pranowo dalam beberapa survei dengan tingkat keterpilihan tertinggi, mengalahkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan. 

Hasil survei terbaru yang dikeluarkan Lembaga Survei Charta Politika Indonesia 13 Juni 2022, menyebut elektabilitas Gubernur Jawa Tengah adalah 36,5%, mengalahkan Prabowo Subianto yang meraih 26,7%, dan Anies Baswedan dengan 24,9%.

Angka keterpilihan para kandidat meningkat dibandingkan hasil survei yang dirilis sebelumnya (25 April 2022). Ganjar sebelumnya dipilih oleh 29,2% responden. Sementara Prabowo dan Anies, masing-masing dipilih 23% dan 20,2% responden.

Baca Juga: Ganjar Pranowo: Saya Dijewer Bu Mega, Sering

Sementara, Poltracking Indonesia yang merilis hasil survei beberapa hari sebelumnya (9 Juni 2022), menyebut Ganjar dipilih 26,9 persen responden, sementara Prabowo Subianto dan Anies Baswedan masing-masing dipilih 22,5% dan 16,8% responden.

Dalam mesin pencari Google, nama Ganjar Pranowo muncul 16,8 juta kali, sementara Prabowo Subianto muncul 5 juta kali, dan Anies Baswedan muncul 14,4 juta kali.

Bila kita menggunakan tools Google Trends dengan periode pencarian di web selama 90 hari, nama Ganjar Pranowo menduduki rangking kedua. Posisi pertama adalah Anies Baswedan, dan posisi ketiga adalah Prabowo Subianto.

Belajar dari Pemilu 2014

Pertanyaan berikutnya: apakah Megawati bakal memilih Ganjar daripada Puan Maharani, putrinya sendiri dan penerus tahta kepemimpinan PDI Perjuangan? Saya tidak tahu. Namun, selain teori kemungkinan, politik adalah rasionalitas kepentingan. 

Tahun 2014, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati paling tidak memiliki tiga pilihan, yakni (1) maju sebagai calon presiden; (2) mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden sesuai dengan “Perjanjian Batu Tulis”; dan (3) memilih Jokowi yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebagai calon presiden. 

Keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati di Pemilu 2014 membuktikan bahwa politik adalah kemungkinan yang juga dilandasi oleh rasionalitas, bukan sekadar intuisi saja. 

Baca Juga: Ganjar Pranowo: Saya Enggak Pernah Dibuang, Saya Masih di Kandang

Dalam konteks hari ini, PDI-P sudah memiliki kader yang berpotensi sebagai calon presiden, yakni Ganjar Pranowo dan Puan Maharani. Yang dibutuhkan adalah kepastian untuk menang. Apa itu? Jokowi’s Effects, yakni seorang kandidat memiliki tingkat elektabilitas sekaligus popularitas yang tinggi. Apalagi, PDI-P bisa memajukan calonnya sendirian tanpa harus berkoalisi.

Sayang, belum ada satu pun dari kandidat tersebut memiliki Jokowi’s Effects. Terlebih, pemilu masih jauh. Butuh stamina dan strategi untuk terus menaikkan elektabilitas calon.

To be continued

Saya menduga “Drama: Ganjar dan Puan” ini akan terus berlanjut. Tentu dengan berbagai variasi dan gimmick. Kontroversi akan mencuri perhatian, yang berlanjut menjadi perbincangan. Dari perbincangan, akan menguatkan top of minds calon pemilih.

Hasil survei Charta Politika tidak hanya menunjukkan elektabilitas personal dari calon presiden, namun juga menyebut bahwa PDI Perjuangan tetap menjadi pilihan pertama dari responden survei sebesar 24,1%.

Jadi tidak hanya para calon yang mendapat untung dari drama ini, tetapi juga partai.

Kalau Korea Selatan dan Korea Utara saja bisa bekerja sama dalam memunculkan sebuah lakon, kenapa politisi kita tidak?

 


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x