Oleh Sultan Baktiar Najamudin, Ketua DPD RI
Amanat konstitusi sebagaimana tertuang pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Namun, eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya
alam seperti hutan, tambang, dan bahan bakar fosil berdampak negatif pada lingkungan dan memperburuk perubahan iklim, yang mana pada akhirnya tidak memberikan kemakmuran pada rakyat.
Pasal 33 memberikan landasan hukum bagi negara untuk berperan aktif dalam penanggulangan perubahan iklim, terutama dalam regulasi dan kebijakan lingkungan untuk memastikan kesejahteraan rakyat saat ini tanpa mengorbankan kesejahteraan generasi mendatang.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa manusia diyakini tanpa keragu-raguan menjadi penyebab perubahan iklim, dengan ditandai peningkatan suhu global yang cukup signifikan. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.500 pulau, menjadi negara yang sangat rentan akan dampak buruk dari perubahan iklim. Dampak buruk yang dimaksud merupakan perubahan jangka panjang (slow onset events), seperti kenaikan air laut, perubahan pola air hujan, dan suhu yang meningkat, serta peristiwa ekstrem akibat perubahan cuaca (extreme weather events), seperti banjir kepanjangan dan kekeringan.
Baca Juga: Perubahan Iklim Itu Nyata, Berikut Kesaksian Beberapa Negara pada Konferensi Perubahan Iklim
Dalam rentang tahun 2013 hingga 2022, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya bencana terkait cuaca dan iklim di Indonesia sebanyak 28.471, sehingga mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, lebih dari 3,5 juta orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia.
Berdasarkan ND-GAIN Country Index, yakni studi yang berusaha untuk melihat kesiapan negara dalam menghadapi perubahan iklim, Indonesia berada pada peringkat 98 dari 181 negara. Peringkat tersebut menjadi indikasi bahwa Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi, tetapi belum cukup siap dalam menghadapinya. Apabila dihitung dari kerugian ekonomi, perubahan iklim diestimasikan menimbulkan kerugian sebesar 3,45% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030 atau setara Rp2.380 triliun.
Perubahan iklim merupakan isu kemanusiaan yang perlu ditangani secara bersama-sama (common concern of humankind). Tetapi di sisi lain, perubahan iklim menerapkan prinsip common but differentiated responsibilities atau tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda.
Pertimbangannya adalah bahwa pihak yang paling terkena dampak negatif perubahan iklim, kerap kali bukanlah kontributor utama penyebab timbulnya perubahan iklim.
Maka dari itu, didorong sebuah konsep yang disebut sebagai keadilan iklim. Pasal 33 juga menggarisbawahi pentingnya keadilan sosial, di mana Negara harus memastikan bahwa dampak perubahan iklim tidak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Kebijakan adaptasi iklim harus memperhatikan komunitas rentan yang bergantung pada sumber daya alam, karena lebih mungkin mengalami kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim, dan tidak mempunyai akses memadai untuk menghadapi dan pulih dari hal itu.
Pada dasarnya di Indonesia telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan upaya mitigasi penanganan perubahan iklim. Tetapi, peraturan yang ada tidak cukup berdayaguna dan berhasilguna sehingga tidak banyak menunjukkan dampak signifikan.
Berkaitan dengan hal itu, terdapat beberapa alasan utama pentingnya pembentukan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, yaitu pertama, kebutuhan regulasi pokok supaya arah kebijakan, pembangunan, dan penyelenggaraan kegiatan usaha dijalankan dengan mempertimbangkan keadilan iklim secara sinergis dan menghindari tumpang tindih kebijakan sektoral;
Kedua, kebutuhan regulasi yang mampu mengangkat, mengkonsiderasikan aspek ketimpangan akses, serta memberikan tindakan afirmatif kepada kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim;
Ketiga, kebutuhan menguatkan agenda perubahan iklim yang sudah dicanangkan dan dimuat dalam berbagai dokumen negara, perencanaan dan inisatif, seperti NDC, RPJMN, dan SDGs, supaya dapat diterapkan dalam seluruh aspek perencanaan tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,hingga desa;
Keempat, kebutuhan adanya peta jalan dalam jangka panjang yang mampu menentukan skala prioritas pengendalian perubahan iklim, yang mampu mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan loss and damage dengan mempertimbangkan target dan sumber daya yang tersedia;
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.