JAKARTA, KOMPAS.TV - Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Mieke Verawati menyatakan bahwa terbitnya Permendikbud No 30 Tahun 2021 merupakan langkah maju pemerintah.
Terlebih, kata Mieke, di tengah banyak kasus kekerasan seksual yang tertumpuk karena persoalan relasi kuasa di lingkungan pendidikan, salah satunya perguruan tinggi.
Adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku menyebabkan penyintas kekerasan seksual takut untuk melaporkan.
"Permendikbud ini jelas mengatur tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus. Dan ini langkah maju, karena sebagian kasus kekerasan seksual yang tertumpuk karena persoalan relasi kuasa ini sebagiannya muncul di lingkungan pendidikan kampus," kata Mieke Verawati dalam program dialog Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (12/11/2021).
Lebih lanjut, Mieke menyatakan terbitnya Permendikbud 30 ini akan memberikan akses keadilan bagi korban yang biasanya justru akan dilaporkan balik oleh pelaku karena relasi kuasa.
Baca Juga: Tepis Permendikbud 30 Legalkan Zina, Ini Niat Awal dan Tujuan Penerbitannya
Salah satu contohnya yaitu kasus dugaan pelecehan seksual oleh dosen FISIP Universitas Riau (Unri) terhadap mahasiswa bimbingan skripsinya.
Relasi antara dosen dan mahasiswa, membuat dosen leluasa untuk mengancam akan melaporkan korban serta orang yang mengunggah sebuah video di akun medsos @komahi_ur.
Dalam hal itu, Mieke menyebutnya sebagai kriminalisasi terhadap korban yang kemudian didorong untuk menjadi pelaku.
"Justru kami ingin mengakses keadilan bagi korban tapi kadang-kadang konteks tertentu ketika ada relasi kuasa, pelaku lebih kuat, lebih tinggi, lebih berkuasa, maka korban ini mengalami dikriminalisasi juga dan berbalik menjadi pelaku. Ini banyak sekali kasusnya," paparnya.
Koalisi Perempuan mengapresiasi terbitnya Permendikbud 30 karena setidaknya mampu mengisi kekosongan hukum dan kebijakan soal kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
"Permendikbud ini hadir untuk mengisi hal-hal yang itu tidak bisa dijadikan acuan bagi korban kekerasan. Tapi saat ini dimulai permulaan bagus di kampus," sambungnya.
Mieke berharap jika penerapan aturan tersebut di lingkungan perguruan tinggi sukses, akan memantik dan mendorong diterapkannya aturan serupa di lembaga atau institusi lain.
"Ketika ini diterima dan diimplementasikan sesuai dan dipergunakan untuk hal-hal yang tidak perlu dicurigakan ini justru akan menjadi teladan untuk sektor-sektor kelembagaan dan institusi yang lain," jelasnya.
Koalisi Perempuan berharap agar Permendikbud ini bisa diterima agar korban dapat mendapat akses keadilan.
"Karena kita punya kekosongan korban mengakses keadilan yang tadinya korban justru dijadikan pelaku. Permendikbud ini hadir setidaknya untuk menutup judge itu," pungkasnya.
Sebelumnya, muncul pro-kontra soal Permendikbud 30 tahun 2021. Sebagian kalangan menyebut bahwa aturan itu berpotensi melegalkan zina atau tindak asusila.
Salah satu kritik dilontarkan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menilai beleid tersebut cacat secara formil.
Hal itu karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina.
Menurut Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad, salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa 'tanpa persetujuan korban'.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin, melalui keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Sementara itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VII merespons Permendikbud 30 dengan meminta kepada Pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi/merevisi.
Baca Juga: Respons Pro Kontra Permendikbud 30, Komisi X DPR Ingatkan Tidak Khawatir Berlebihan
Ijtima' Ulama mendorong Permendikbud 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dapat mematuhi prosedur pembentukan peraturan sebagaimana ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
Selain itu, materi muatannya wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.