Kompas TV nasional hukum

Soal Guru Pemerkosa 12 Santriwati di Bandung, Anggota DPR: Bukan Monster tapi Bapaknya Monster!

Kompas.tv - 11 Desember 2021, 12:06 WIB
soal-guru-pemerkosa-12-santriwati-di-bandung-anggota-dpr-bukan-monster-tapi-bapaknya-monster
Ilustrasi: desakan hukuman kebiri bagi Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 12 santriwati di Bandung. (Sumber: Shutterstock via Kompas.com)
Penulis : Hedi Basri | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Desakan hukuman maksimal hingga kebiri terhadap Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan puluhan santriwati di Bandung, Jawa Barat terus berdatangan dari berbagai pihak dan lembaga. 

Bahkan Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Yandri Susanto meminta agar pelaku pemerkosaan terhadap puluhan santriwati di Bandung itu dijatuhi hukuman kebiri dan pidana maksimal.

Ia mengaku bersama anggota Komisi VIII DPR RI lainnya merupakan pihak yang paling geram terkait kasus guru pesantren yang memperkosa santriwati tersebut.

Dia berharap agar pelaku dijatuhi hukuman maksimal tanpa pengurangan, meskipun dia mengakui bahwa majelis hakim independen dan berwenang mengambil keputusan itu.

“Dari semua kegeraman publik Indonesia hari ini, saya kira itu layak dijadikan urutan pertama hakim untuk membuat keputusan. Ditambah lagi dengan hukum kebiri,” ucapnya dalam Sapa Indonesia Akhir Pekan Kompas TV, Sabtu (11/12/2021).

Baca Juga: Santriwati Korban Perkosaan Herry Wirawan Lahirkan Anak Kedua pada Bulan Lalu, Usianya 14 Tahun

Dia menambahkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur sudah beberapa kali terjadi, mulai dari sodomi hingga pemerkosaan.

Tapi, di antara semuanya, kasus pemerkosaan santriwati di Bandung ini merupakan yang tersadis dan terbejat.

“Kemarin ada yang tanya, apakah ini monster? Saya bilang bukan monster ini tapi bapaknya monster.”

Dia juga berharap agar pemerintah, DPR, maupun pemerintah kabupaten/kota, dan aparat hukum, benar-benar serius menyikapi kasus seperti ini.

Selain itu desakan hukuman maksimal bagi Herry Wirawan juga disuarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). 

Kemen PPPA menilai terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 12 santriwati itu dapat diancam tambahan hukuman kebiri sesuai Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.

"Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar dilansir dari Antara, Jumat (10/12/2021).

Baca Juga: Komisi VIII DPR Harap Pelaku Pemerkosaan terhadap Santriwati Dikebiri dan Dihukum Maksimal

“Kebiri ini kan sudah lama Perppunya keluar, dan masih berlaku tapi belum pernah dilakukan karena katanya banyak ikatan dokter Indonesia menolak, ada juga pengamat hak asasi manusia menolak,” lanjut Yandri.

Namun, pada kasus semacam ini, lanjut Yandri, ini bukan persoalan hak asasi manusia. Sebab pelaku tidak mempunyai rasa kemanusiaan.

“Maka menurut saya, dua hukuman ini mesti dijadikan momentum bahwa Indonesia serius, bangsa ini serius untuk melakukan hukuman maksimal kepada pedofil pada Herry ini di Bandung,” tegasnya.

Jika hukuman maksimal dijatuhkan pada pelaku, Yandri berpendapat hal itu sangat mungkin menyebabkan efek jera. 

Meskipun diakuinya bahwa itu tidak dapat menyelesaikan masalah.

Baca Juga: 2 Santriwati Korban Herry Wirawan Sempat Kembali Sekolah tapi Dikeluarkan karena Punya Anak

Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan

Sebagaimana diketahui, Herry Wirawan, guru pesantren di Cibiru, Kota Bandung tersebut melakukan pemerkosaan terhadap 12 santriwati selama lima tahun sejak 2016 – 2021. Bahkan empat santriwati melahirkan delapan anak.

Dalam persidangan yang sedang berlangsung, terdakwa disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun.

Nahar menyebut bahwa saat ini korban telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat.

"Perhatian khusus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat," kata Nahar.

Nahar meminta semua pihak termasuk media berhati-hati dalam menyampaikan informasi serta tidak memberi stigma kepada korban.

Menurut dia, korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak-dampak buruk lainnya.

Nahar mengatakan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering terjadi.

Kemen PPPA pun mengharapkan adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.

Baca Juga: Ternyata Istri Tak Tahu Kelakuan Herry selama 5 Tahun Perkosa Belasan Santriwati hingga Hamil

Pihaknya mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya.

"Kami juga mengharapkan orang tua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut," ujar Nahar.

Nahar mengatakan lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.

Baca Juga: 6 Fakta Dugaan Pencabulan terhadap Santriwati di Tasikmalaya oleh Gurunya




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x