Kompas TV nasional sosial

Pakar UGM Sebut Tradisi Sajen Sudah Ada Sebelum Agama Bermunculan di Indonesia

Kompas.tv - 15 Januari 2022, 22:23 WIB
pakar-ugm-sebut-tradisi-sajen-sudah-ada-sebelum-agama-bermunculan-di-indonesia
Tangkapan layar dari seorang pria yang melempar dan menendang makanan yang diduga sajen di wilayah erupsi Gunung Semeru. (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Switzy Sabandar | Editor : Fadhilah

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Dosen filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) Sartini yang menggeluti budaya kearifan lokal ikut angkat bicara menanggapi video viral menendang sajen di Gunung Semeru baru-baru ini.

Menurut Sartini, sajen identik dengan tradisi masyarakat yang menjadi bentuk persembahan kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, nenek moyang, atau makhluk yang tidak tampak.

“Ini sudah ada sebelum Islam masuk, bahkan sebelum Hindu dan Buddha,” ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (15/1/2022).

Ia menerangkan, sajen kerap dikaitkan dengan ritual untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu, benda-benda yang disiapkan untuk sajen berbeda-beda dan setiap unsur memiliki filosofi masing-masing.

Baca Juga: Rektor UIN Sunan Kalijaga Minta Penendang Sesajen di Semeru Dimaafkan

Di Jawa, misalnya, sajen sering disebut uborampe atau kelengkapan.

Sementara di Lumajang, bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang menyediakan sajen menganggap Semeru sebagai “makhluk” yang memiliki kekuatan dan berharap agar Gunung Semeru tidak “murka” lagi. 

“Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,” ucapnya.

Menurut pemahaman Sartini, di Tanah Air kepercayaan tentang animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini.

Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur.

Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya. 

Kendati demikian, dalam lingkungan Islam fenomena sajen sesaji memunculkan banyak tafsir.

Pandangan intinya, sajen yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang.

Sekali pun demikian, masih ada pandangan yang agak memberi peluang memberikan sajen.

Ia menilai, orang yang membolehkan mungkin berpandangan melakukannya sebagai sekadar tradisi dan niat permohonannya tetap kepada Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah.

“Masalahnya adalah, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial,” ucap Sartini.

Ia berpendapat keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat soal sajen merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup.

Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasikan agama dan tradisi, hibridisasinya mungkin dapat dilakukan dengan menyosialisasikan makna simbolnya sehingga orang tidak memahaminya sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila sesuatu tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu. 

Baca Juga: Bupati Lumajang Apresiasi Proses Hukum Terhadap Penendang Sesajen di Gunung Semeru

“Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional, dan bahkan materialistis,” tuturnya.

Ia juga merekomendasikan kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman dan memunculkan empati, sehingga tidak mudah memaksakan keyakinan orang lain sama dengan dirinya.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x