Kompas TV nasional kesehatan

IDI Sebut Ganja Medis Bisa Jadi Alternatif Obat, tetapi Bukan yang Terbaik

Kompas.tv - 29 Juni 2022, 18:17 WIB
idi-sebut-ganja-medis-bisa-jadi-alternatif-obat-tetapi-bukan-yang-terbaik
Ilustrasi. Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar IDI Zubairi Djoerban menuturkan, ganja medis dapat menjadi alternatif pengobatan, namun bukan yang terbaik. (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Isnaya Helmi | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wacana mengenai legalisasi ganja untuk keperluan medis kembali ramai diperbincangkan belakangan ini, menyusul aksi Santi Warastuti, seorang ibu yang memasang pengumuman membutuhkan ganja medis bagi anaknya saat sedang berada di arena car free day (CFD).

Ganja medis bahkan sudah masuk ke ruang diskusi anggota DPR, wakil presiden, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

Lalu, apakah ganja medis memang bisa membantu mengatasi masalah kesehatan dan aman jika digunakan? 

Terkait hal ini, Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, ganja medis memang bisa menjadi alternatif atau pilihan dalam pengobatan, namun bukan yang terbaik.

"Belum ada bukti obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi. Namun, ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tetapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja," tulis Zubairi dalam cuitan di akun Twitter miliknya, Rabu (29/6/2022). 

Menurut penjelasannya, hingga saat ini sudah terdapat sejumlah studi tentang ganja. Beberapa studi menyebutkan, ganja bisa menjadi obat.

Namun dia menekankan, masih banyak juga yang belum diketahui tentang tanaman ini dan bagaimana ganja berinteraksi dengan obat lain serta tubuh manusia.

Baca Juga: Minta Legalisasi Ganja Medis, Ibu Pasien: Tidak Semua Ortu Punya Uang Bawa Anaknya ke Luar Negeri


"Merupakan fakta bahwa ganja medis itu legal di sejumlah negara, bahkan untuk non-medis. Namun tidak berarti sepenuhnya aman. Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya," ujarnya. 

Dalam dosis berlebih, penggunaan ganja juga diketahui bisa memberikan efek ketergantungan dan halusinasi. Itu sebabnya, penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya.

Zubairi menuturkan, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi.

"Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC (tetrahydricannabinol, senyawa pada ganja) dan CBD (cannabidiol) ini tidak boleh dipakai sama sekali untuk perempuan hamil dan menyusui," tegasnya.

Hingga saat ini, lanjut dia, para ilmuwan belum punya cukup bukti untuk menyatakan konsumsi dengan cara tertentu, lebih aman dari yang lain.

"Yang jelas, merokok ganja, ya merusak paru dan sistem kardiovaskular, sama kayak tembakau," ucap dia.

Baca Juga: Aksi Seorang Ibu Perjuangkan Ganja untuk Medis demi Anaknya, Jalan di CFD hingga Gedung MK

Lalu bagaimana pengobatan cerebral palsy menggunakan ganja medis?

Terkait hal tersebut, Zubairi mengatakan, studi penggunaan THC dan CBD pada cerebral palsy memang ada. Namun, tingkat manfaatnya masih rendah.

"Sebab itu, saya usulkan, ada bahasan khusus untuk menolong buah hati dari Ibu Santi Warastuti oleh para ahli terkait," ungkapnya. 

Sementara itu, sebagai seorang dokter, Zubairi sendiri merasa harus mempertimbangkan penggunaan ganja dengan tepat, meski sejumlah studi telah menemukan manfaatnya.

"Apakah ganja lebih aman daripada obat lain yang akan saya resepkan? Bagaimana kemungkinan interaksi obat, apakah justru memperburuk kecemasan? Atau berpotensi menyebabkan gangguan psikotik? Banyak hal," ujarnya mengurai berbagai pertimbangan. 

"Yang terang, setiap obat itu memiliki potensi efek samping, beberapa serius, termasuk ganja medis yang harus diminimalkan. Ketepatan dosis ini krusial untuk menjaga kondisi pasien sehingga mendapatkan efek obat yang dituju," imbuh Zubairi.

Baca Juga: Pimpinan DPR: Komisi III dan Komisi IX Akan Kaji Usulan Penggunaan Ganja Medis

 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x