Kompas TV nasional hukum

Pamer Harta di Medsos, Pejabat Publik Bisa Diintai Penegak Hukum dengan Metode Ini

Kompas.tv - 17 Maret 2023, 17:44 WIB
pamer-harta-di-medsos-pejabat-publik-bisa-diintai-penegak-hukum-dengan-metode-ini
Ilustrasi pamer harta pejabat. Pejabat publik maupun keluarganya yang memamerkan kekayaan di media sosial bisa diintai penegak hukum dengan metode open-source, Jumat (17/3). (Sumber: iStock via Kompas.com)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pejabat publik yang memamerkan harta di media sosial secara terbuka bisa diintai hingga disidik oleh penegak hukum.

Hal itu diungkapkan oleh peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman dalam program Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Jumat (17/3/2023).

Salah satu model pengintaian yang bisa dilakukan aparat penegak hukum ialah metode open source.

"Metode pengintaian open source itu adalah menganalisis apa yang tersedia di media sosial secara terbuka," kata Zaenur.

Ia menerangkan, dalam konteks penegakan hukum, mereka yang pamer harta disebut sebagai self-surveillance.

"Dia merelakan dirinya untuk diintai oleh aparat penegak hukum," ungkapnya.

Metode yang belum pro-justitia itu, kata dia, digunakan untuk menganalisis apa yang tersedia di media sosial secara terbuka atau publik.

Baca Juga: Penindakan Soal Pamer Gaya Hidup Mewah Pejabat, Analis Kebijakan: Tidak Ada Action Will-nya

Cara itu bisa dimanfaatkan penegak hukum untuk mengintai para pejabat penyelenggara negara maupun keluarganya yang memamerkan harta. 

"Kalau ada pejabat negara penghasilannya sekian, kemudian gaya hidup puluhan miliar, maka itu menjadi pintu masuk untuk dilakukan penyelidikan lebih dalam," jelasnya.

Selanjutnya, aparat bisa membandingkan barang mewah yang dipamerkan itu dengan data di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat yang bersangkutan.

"Apakah harta mewah yang dipamerkan sudah ada di dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau belum?" ujarnya.

Apabila tidak tercatat di LHKPN, kata Zaenal, maka pejabat yang bersangkutan perlu dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau inspektorat jenderal di lembaga yang menaunginya.

Selain itu, aparat penegak hukum juga bisa memeriksa transaksi keuangan yang tercatat dari rekening pejabat tersebut.

"Kalau tidak tercatat dalam transaksi keuangan, berarti kemungkinan transaksi tunai," ungkapnya.

Baca Juga: Hedone, Sang Dewi Kenikmatan dan Kegembiraan yang Kini Dikaitkan Gaya Hidup Mewah Pejabat

Ia menyebut, pelaku pemberi suap kepada pejabat atau pihak berwenang biasanya memberikan barang berharga yang nilainya sangat tinggi. Ia mencontohkan, pemberi suap bisa saja memberikan jam tangan mewah seharga miliaran rupiah.

Zaenal menilai, perilaku hidup hedonis pejabat negara melanggar kode etik aparatur sipil negara (ASN). Selain itu, secara teori, gaya hidup hedonis juga merupakan salah satu faktor pendorong tindak pidana korupsi.

"Orang bergaya hidup mewah berpotensi menerima suap atau tindak pidana korupsi lebih tinggi daripada lainnya," terangnya.

Salah satu faktor risiko fraud atau penyimpangan keuangan, lanjut dia, ialah orang-orang yang memiliki pengeluaran besar lebih dari pendapatannya.

"Sehingga mereka harus punya penghasilan dari sumber-sumber lain selain penghasilan sah," tegasnya.

Peraturan di Indonesia yang mengatur tentang kejahatan ini, kata dia, ialah Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Peraturan hukum Indonesia belum secara lengkap mengatur terkait deteksi kemungkinan pelanggaran hukum, yang kita punya saat ini adalah UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010," ujarnya.

Baca Juga: Viral Diduga Istri Jenderal Polisi Bergaya Hidup Mewah, Polri Ingatkan Tak Hedon hingga Ancam Sanksi

UU tersebut mengharuskan aparat penegak hukum untuk memiliki alat bukti predicate crime atau tindak pidana asal.

Menurut Zaenal, selama ini sudah ada indikasi pejabat-pejabat negara yang bergaya hidup mewah dan tak sesuai dengan penghasilannya, namun tidak pernah diproses lebih lanjut oleh aparat penegak hukum, maupun pengawas internal lembaga terkait.

"Selama ini ada indikasi-indikasi pejabat hidup mewah, tidak sesuai penghasilan sahnya tapi tidak pernah ditindaklanjuti," jelasnya.

Padahal, secara teori dan peraturan, aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan lebih lanjut dari indikasi-indikasi hedonisme tersebut.

"Secara praktik, sangat jarang aparat penegak hukum masuk menyelidiki perkara itu hanya dari gaya hidup yang mewah seorang pejabat negara," pungkasnya.


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x