JAKARTA, KOMPAS.TV - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup dalam Pemilu.
Dengan ditolaknya permohonan tersebut, informasi yang diungkap Pendiri Firma Hukum Integrity Denny Indrayana MK akan memutus sistem proporsional tertutup dinilai melenceng.
Namun Denny tidak sependapat dengan penilaian tersebut. Menurutnya tidak menutup kemungkinan putusan tersebut diambil setelah MK mendapat perhatian dan masukan.
Mantan Wamenkumham di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini tetap meyakini informasi yang didapatnya, namun ada perubahan setelah gugatan uji materi UU Pemilu terkait sistem Pemilu menjadi perhatian publik.
"Jadi kemungkinannya bukan tidak akurat informasinya tetapi memang ada perubahan, pergeseran sehingga berbeda informasi di akhir Mei dengan putusan 15 Juni," ujar Denny di program Sapa Indonesia Malam KompasTV, Kamis (15/6/2023).
Baca Juga: MK Putuskan Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Sistem Pemilu 2024 Tetap Terbuka!
Lebih lanjut Denny mengapresiasi putusan MK terkait uji materi sistem Pemilu dalam UU Pemilu.
Sedari awal pria yang juga seorang advokat ini menyatakan tidak ingin informasi yang diterima benar terjadi, yakni MK memutus sistem pemilu dengan proporsional tertutup atau mencobolos gambar partai bukan calon wakil rakyat.
Pernyataan soal informasi terkait putusan MK dilakukan untuk menjaga MK terhindar dari kepentingan tertentu.
Informasi yang diterima dianalisis secara ilmiah dan akademik. Salah satunya mengenai kecenderungan putusan hakim.
Ia mencontohkan Mahkamah Agung di Amerika Serikat (AS) jika dinominasikan presiden AS dari Partai Demokrat, maka hakim agung cenderung progresif liberal.
Baca Juga: Soal Cuitan Bocoran Putusan Sistem Pemilu, MK Bakal Laporkan Denny Indrayana ke Organisasi Advokat
Sedangkan jika presiden AS dari Partai Republik maka hakim agung cenderung konservatif.
"Jadi kita bisa memetakan secara ilmiah akademik bagaimana kecenderungan putusan hakim dan kalau pun itu kemudian meleset atau tidak, itu dinamika sebelum putusan kan sering terjadi," ujar Denny.
"Ini adalah pilihan yang sadar saya lakukan untuk mengawal agar MK pada saat memutuskan mudah-mudahan sejalan dengan sistem proporsional terbuka," ujarnya.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Amar putusan, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya saat membacakan amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022, Kamis (15/6).
Baca Juga: Hakim MK Arief Hidayat Dissenting Opinion, Usul Sistem Pemilu Terbuka Terbatas
Permohonan pengujian UU Pemilu tersebut diajukan oleh Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi.
Para Pemohon mengujikan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Pasal-pasal yang diuji tersebut mengenai sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Para Pemohon pada intinya mendalilkan pemilu yang diselenggarakan dengan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
Dengan ditolaknya permohonan ini, maka Pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.