JAKARTA, KOMPAS.TV- Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di DPR, Selasa (11/7/2023). Namun Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak pengesahan ini.
Hal tersebut terungkap dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Sidang V Tahun 2022-2023 yang disiarkan secara langsung dan terbuka oleh DPR RI.
Dalam penjelasan Fraksi Partai Demokrat yang dibacakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, setidaknya ada tiga alasan fraksinya menolak RUU Kesehatan tersebut untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Baca Juga: Ibas Beberkan 2 Alasan Demokrat Tolak RUU Kesehatan: Alokasi Anggaran dan Liberalisasi Dokter Asing
“Dalam proses pembahasan RUU Kesehatan, Kami mencermati adanya sejumlah persoalan mendasar dari RUU Kesehatan ini. Untuk itu izinkan kami menyampaikan beberapa catatan penting dari Fraksi Partai Demokrat,” ujar Dede dalam rapat paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Pertama, Kebijakan Pro Kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamatkan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya.
Untuk itu Partai Demokrat telah mengusulkan dalam rapat Panja guna memperjuangkan peningkatan anggaran kesehatan atau mandatory spending di luar gaji dan penerima bantuan iuran atau PBE namun tidak setujui.
“Pemerintah justru menyetujui mandatoris spending kesehatan dihapuskan. Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat,” tambah Dede.
Padahal Fraksi Partai Demokrat menilai mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan, dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat.
Dalam rangka mencapai tingkat indeks manusia atau IPM yang dalam RPJMN tahun 2020-2024 telah ditetapkan sasaran mencapai 75,54 persen, namun hingga Tahun 2022 tingkat IPM baru mencapai 72, 91 persen.
Kedua, Demokrat menilai adanya indikasi liberalisasi tenaga kesehatan dan tenaga medis asing yang sangat berlebihan.
Meskipun Fraksi Partai Demokrat tidak anti terhadap kemajuan dan keterbukaan tenaga asing, namun perlu mempertimbangkan kesiapan dan konsekuensi seperti pembiayaan dan dampak yang dikhawatirkan semua pihak.
“Fraksi Partai Demokrat mendukung sepenuhnya kemajuan praktek kedokteran dan hospitality termasuk hadirnya dokter asing. Namun tetap mengedepankan prinsip resiproval bahwa seluruh dokter Indonesia baik urusan dalam negeri maupun urusan luar negeri diberikan pengakuan yang layak dan kesempatan yang setara dalam mengembangkan karirnya. Begitupun dengan dokter asing yang ingin berpraktek di Indonesia harus tunduk dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” paparnya.
Diungkapkan Dede, fraksinya memahami jika ada keinginan untuk menggalakkan investasi di sektor kesehatan demi kepentingan ekonomi kita. Namun jika sebuah undang-undang dan kebijakan kesehatan terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis tentulah tidak baik.
Ketiga, Fraksi Partai Demokrat juga menilai selama proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan kurang memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup panjang. Sehingga terkesan sangat terburu-buru.
“Jika ruang dan waktu dibuka lebih panjang lagi kami meyakini bahwa RUU ini dapat lebih komprehensif holistik berbobot dan berkualitas. Berdasarkan catatan penting tersebut diiringi semangat keberpihakan terhadap rakyat Indonesia dengan ini Fraksi Partai Demokrat menolak RUU tentang kesehatan untuk disahkan menjadi undang-undang pada pembicaraan tingkat II,” pungkasnya dikutip dari situs dpr.go.id.
Baca Juga: RUU Kesehatan Disahkan DPR Jadi UU, PPNI Bulatkan Tekad Gelar Mogok Kerja Nasional
Senada dengan Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS menjadi fraksi lainnya yang menolak menyetujui disahkannya RUU Kesehatan tersebut.
Dalam pendapat fraksi yang dibacakan oleh anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani, dikatakan bahwa RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI).
Pasalnya, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA).
"Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima," ujar Netty.
Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum.
Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.
Pelindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.
Tidak hanya itu, Fraksi PKS juga menyoroti mandatory spending yang dihapuskan. Padahal bahwa mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.
Selain itu juga agar ada jaminan anggaran kesehatan yang dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Sumber : Kompas TV, dpr.go.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.