Kompas TV nasional humaniora

Mengenang Hari Wafat RA Kartini (I): Sebuah Misteri 17 September 1904

Kompas.tv - 17 September 2023, 08:00 WIB
mengenang-hari-wafat-ra-kartini-i-sebuah-misteri-17-september-1904
Raden Adjeng Kartini (Sumber: Istimewa )
Penulis : Iman Firdaus | Editor : Hariyanto Kurniawan

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pahlawan emansipasi itu lebih dikenal lewat hari lahirnya 21 April 1879. Setiap 21 April, hingga kini, ada perayaan di sekolah dan beberapa perkantoran mengenakan kain kebaya atau adat nusantara bagi kaum perempuan untuk merayakan Hari Kartini.

Namun, perempuan ningrat bernama lengkap Raden Ajeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah) itu, sebenarnya punya hari yang layak dikenang, yaitu saat kematiannya 17 September 1904.

Kartini meninggal dalam usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan anak pertama, Soesalit Djojoadhiningrat. Meski tanggal 17 September yang paling banyak diyakini sebagai hari kepergiannya, namun ada juga pendapat yang berbeda.

Tamar Djaja dalam bukunya "Pusaka Indonesia, Riwayat Orang-orang Besar Tanah Air" (Bulang Bintang, 1966) menuliskan bahwa 17 September adalah saat dia melahirkan anak pertama dan meninggal empat hari kemudian.

"Pada 17 September 1904, Kartini dikaruniai oleh Allah seorang putra dan diberi nama Raden Singgih. Tetapi 4 hari kemudian setelah melahirkan anak itu, maka ia pun berpulang ke rahmatullah dalam usia 25 tahun." Artinya, Tamar Djaja meyakini Kartini meninggal pada 21 September 1904.

Baca Juga: Begini Cara Polwan di Sukabumi Peringati Hari Kartini di Bulan Suci Ramadan

Salah satu misteri yang menyeruak adalah penyebab kematiannya. Tidak ada catatan pasti yang membuat berkembang berbagai pendapat. Salah satunya, Kartini disebut meninggal karena diracun.       

Sebab di saat hamil hingga jelang persalinan, Kartini terlihat sehat walafiat dengan kondisi bayi yang juga sehat. Bahkan persalinannya pun dibantu seorang dokter Belanda, dokter Ravesteijn, yang mengindikasikan bahwa dia mendapatkan perawatan superpremium untuk kondisi kala itu. 

Dalam beberapa keterangan, setelah empat hari melahirkan, sang dokter datang untuk memeriksa kondisi Kartini. Tapi 30 menit setelah sang dokter pulang, Kartini mengeluh sakit perut. Ketika sang suami memanggil dokter lagi, kondisi penulis Kartini sudah parah dan meninggal tak lama kemudian.

Sang suami, Djojoadiningrat, yang ikut menemani di detik-detik kematiannya menuturkan. “Dengan halus dan tenang ia mengembuskan napasnya yang terakhir dalam pelukan saya, lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia masih sadar," tulis Djojoadiningrat seperti di kutip dari buku "Kartini: Sebuah Biografi" yang ditulis oleh Sitisoemandari Soerto.

Desa- desus pun berkembang bahwa Kartini meninggal karena diracun. Salah satu alasannya, pemikiran Kartini yang terbilang berani memojokkan Belanda, dan Kartini dianggap berbahaya. Beredar cerita bahwa di hari Kartini meninggal, Dr van Ravesteyn mengajaknya minum anggur sebagai tanda perpisahan. Namun sampai sekarang hal ini tidak terbukti. 

Hingga kemudian berkembang sebuah teori dari ilmu kedokteran, yang mengaitkan dengan kondisi tekanan darah seorang perempuan saat melahirkan, yaitu Preeklamsia. Kondisi ini disebut terjadi pada usia kehamilan di atas 20 minggu. Secara umum, kondisi ini muncul karena ada peningkatan tekanan darah serta ditemukannya kandungan protein dalam urin. 


 

Hampir lima dari sepuluh ibu hamil di Indonesia mengalami preeklamsia. dr Fauzan Achmad Maliki, Sp.OG dari Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang dikutip dari situs ugm.ac.id, menyebutkan bahwa preeklamsia ini terjadi pada ibu hamil setelah dua puluh minggu atau setara dengan empat bulan masa kehamilan dan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.

Baca Juga: Sorotan Berita: Iriana Jokowi Peringati Hari Kartini, Demo Mahasiswa, Hotman Paris Dipolisikan

“Selain faktor pemicu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa preeklamsia disebabkan oleh plasenta. Ibu hamil dengan preeklamsia memiliki pembuluh darah yang tidak berfungsi dengan normal, akibat bentuknya yang lebih sempit dan memiliki reaksi terhadap hormon yang berbeda, sehingga menyebabkan aliran darah dapat masuk ke plasenta menjadi terbatas," katanya.

Hingga saat ini preeklamsia dipercaya sebagai penyebab meninggalnya sang penulis "Habis Gelap Terbitlah Terang" ini.


 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x