Kompas TV nasional humaniora

Profil Ignas Kleden, Sastrawan dan Cendekiawan yang Tutup Usia

Kompas.tv - 22 Januari 2024, 11:54 WIB
profil-ignas-kleden-sastrawan-dan-cendekiawan-yang-tutup-usia
Profil Ignas Kleden yang tutup usia hari ini, Senin (22/1/2024). (Sumber: Tribunnews)
Penulis : Dian Nita | Editor : Desy Afrianti

Setelah keluar dari sekolah tersebut, Ignas menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi/STFT Ledalero, Maumere, Flores (1972).

Ia kemudian mendalami bidang filsafat di Hochschule fuer Philosophie, Muenchen, Jerman (1982) hingga meraih gelar Master of Art.

Ignas kemudian meraih gelar Doktor bidang Sosiologi dari Universitas Bielefeld, Jerman (1995).

Sejak masih di tinggal Flores, Ignas aktif menulis esai yang lantas dimuat di berbagai media massa seperti majalah Basis Yogyakarta, majalah Budaya Jaya Jakarta, dan majalah Tempo.

Ignas kian rajin menulis setelah hijrah ke Ibu Kota pada tahun 1974. Tulisannya banyak dimuat di majalah maupun jurnal.

Ignas juga pernah bekerja sebagai penerjemah buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores.

Baca Juga: SMA Negeri 4 Kota Semarang Kampanye Anti Napza Melalui Pementasan Drama Musikal

Ia sempat pula bekerja sebagai editor pada yayasan Obor Jakarta (1976-1977), Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta (1977-1978), dan Society For Political and Economic Studies, Jakarta. Tahun 2000 ia turut mendirikan Go East yang kini menjadi Pusat Pengkajian Indonesia Timur.

Ketika masih tinggal Flores, ia sudah mengenal majalah Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan tulisannya ke majalah itu. Dia juga menulis artikel di majalah Budaya Jaya Jakarta, dan menulis artikel semipolemik untuk majalah Tempo.

Setelah hijrah ke Ibu Kota, tahun 1974, Ia makin aktif menulis, baik di majalah maupun jurnal, dan menjadi kolumnis tetap majalah Tempo. Esainya mengenai sastra dimuat di majalah Basis, Horison, Budaya Jaya, Kalam, Harian Kompas, dan lain-lain.

Ia juga menulis kata pengantar untuk Mempertimbangkan Tradisi karya Rendra (1993), Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad (1989), dan Yel karya Putu Wijaya (1995).

Tahun 2003, bersama sastrawan Sapardi Djoko Damono, menerima Penghargaan Achmad Bakrie. Ia dinilai telah mendorong dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih tajam lewat essai dan kritik kebudayaannya.




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x