Kompas TV nasional politik

Litbang Kompas: 66 Persen Tak Setuju Gubernur Jakarta Dipilih Presiden, Ingin Demokratisasi Berjalan

Kompas.tv - 12 Maret 2024, 20:26 WIB
litbang-kompas-66-persen-tak-setuju-gubernur-jakarta-dipilih-presiden-ingin-demokratisasi-berjalan
Peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV,Selasa (12/3/2024). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV – Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa sebanyak 66,1 persen responden tidak setuju jika Gubernur Jakarta dipilih oleh presiden.

Menurut peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu dalam dialog Kompas Petang, Kompa TV, Selasa (12/3/2024), sebagian besar responden yang tidak setuju tersebut menginginkan agardemokratisasi di Jakarta tetap berjalan.

“Hasilnya memang 60 persen lebih tidak setuju jika Gubernur Jakarta itu ditetapkan atau ditentukan  oleh pemerintah pusat,” tuturnya.

Artinya, kata dia, memang ada keinginan agar mekansime demokratisasi di Jakarta itu tetap berjalan, yang salah satu simbolnya adalah memilih langsung.

Baca Juga: Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas: 62,2 Persen Setuju Penggunaan Hak Angket!

“Salah satu alasan terbesarnya adalah agar jangan terjadi kemunduran demokrasi, karena selama ini kan Gubernur DKI Jakarta kan dipilih langsung.”

Dalam penjelasannya, Yohan Wahyu juga mengatakan, jajak pendapat itu untuk merespons Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang tengah dibahas dan belum selesai.  

Setelah proses pemilu, perhatian pubik ke pemilu, mungkin kita perlu melihat bagaimana respos publik tentang RUU DKJ,” tuturnya.

Sebab, kata dia,  seperti yang diungkapkan salah satu anggota DPR mengingatkan bahwa posisi Jakarta tidak lagi menjadi ibukota setelah dua tahun pasca penetapan UU IKN.

“Dari situlah kami mencoba melihat salah satu isu yang cukup menjadi perhatian adalah soal bagaimana mekanisme pemilihan Gubernur Jakarta, kan wacana berkembang perlu ditunjuk langsung atau dipilih langsung.”

“Nah kita coba melihat respons publik, bagaimana jika Gubernur DKI Jakarta itu ditunjuk ya, dari wacana yang berkembang dalam RUU DKJ itu,” jelasnya.

Sebagai informasi, pengumpulan jajak pendapat ini dilakukan melalui telepon pada 26-28 Februari 2024, melibatkan  512 responden dari 38 provinsi.

Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian lebih kurang 4,33 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pengambilan sampel dimungkinkan terjadi.

Baca Juga: Data Hitung Cepat Pemilu 2024 Litbang Kompas Capai 100 Persen, Ini Persentase Suara Capres-Cawapres

Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang juga menjadi pembicara dalam dialog tersebut, menilai tidak ada hubungan substantif antarapresiden dan Gubernur Jakarta pasca IKN pindah ke Kalimantan.

“Secara substantif pun menurut saya hampir tidak bisa diterima pikiran untuk memilih (gubernur) oleh presiden terhadap Gubernur DKJ. Karena pada dasarnya nggak memiliki hubungan antara presiden dengan Gubernur Jakarta itu pasca IKN pindah ke Kalimantan.”

“Kalau saya baca tadi hasil survei yang dilakukan oleh kawan-kawan Kompas, sebagian besar mereka yang setuju itu masih memabayangkan bahwa Jakarta itu masih daerah khusus ibu kota,” tuturnya.

Misalnya, lanjut Ray, penilaian bahwa presiden bisa mengintervensi langung, karena Jakarta dekat dengan presiden, itu sudah tidak relevan karena presiden berkedudukan di IKN.

“Ya nggak, kan presiden istananya ada di Kalimantan, bukan lagi di Jakarta.”

“Sejauh ini yang saya tahu tidak ada satu pun fraksi yang setuju, termasuk di dalamnya  kita juga sudah dengar juga bahwa presiden juga tidak menginginkan pemilihan langsung oleh presiden terhadap Gubernur DKJ,” jelasnya.


 

Draft tentang RUU DKJ tersebut, menurut Ray, muncul saat hubungan antara PDIP dan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) masih kuat dan ditopang dengan partai lain.

“Tapi setelah hubungan ini makin merenggang dan sekarang bahkan boleh disebut putus, saya kira salah satu langkah yang dilakukan oleh PDIP justru menolak secara tegas pemilihan tidak langsung ini atau penunjukan langsung oleh presiden terhadap Gubernur DKJ, ini yang akan ditolak oleh mereka.”




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x