Kompas TV nasional peristiwa

Soal Teror pada Guru Besar UGM, KSP: Jangan Diframing Seolah-olah Dilakukan Pihak yang Dikritik

Kompas.tv - 20 Maret 2024, 05:30 WIB
soal-teror-pada-guru-besar-ugm-ksp-jangan-diframing-seolah-olah-dilakukan-pihak-yang-dikritik
Tenaga Ahli Utama KSP Joanes Joko dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (19/3/2024). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Joanes Joko berharap teror yang dialami Guru Besar Psikologi UGM, Prof Koentjoro Soeparno jangan diframing seolah-olah dilakukan oleh pihak yang dikritik.

Pernyataan Joanes Joko tersebut disampaikan dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Selasa (19/3/2024), menanggapi adanya teror yang diterima Koentjoro setelah membacakan petisi UGM Menggugat.

“Tetapi yang ingin kami tegaskan, apa pun yang dialami oleh Prof Koentjoro, bagi kami itu harus kita lihat jangan diframing seolah-olah itu dilakukan oleh kelompok atau pihak yang dikritik oleh Prof Koentjoro,” harapnya.

Menurutnya KSP berkomitmen bahwa kebebasan berpendapat termasuk kritik harus dikawal dan dilindungi.

Baca Juga: Guru Besar Psikologi UGM Mendapat Teror Melalui Media Sosial hingga Didatangi ke Kantor: Dicaci Maki

“Sekali lagi, komitmen kami Kantor Staf Presiden, komitmen kami, pimpinan kami, Jenderal Moeldoko itu jelas sekali, bahwa apa pun yang terkait dengan kebebasan berpendapat, kritik, masukan, itu harus betul-betul dikawal dan dilindungi.”

Dalam dialog itu, Joko juga menyebut yang harus disepakati adalah dirinya dan Koentjoro berpendapat bahwa esensi dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat.

“Yang pasti kita sepakat dululah, saya sama Prof Koentjoro ini kalau urusan demokrasi kita sepakat dulu bahwa esensi demokrasi adalah kebeasan berpendapat, berekspresi sehingga segala bentuk pendapat, masukan, kritik itu harus betul-betul kita jaga sejauh itu bukan cacian, makian, fitnah, kebencian, dan kebohongan.”

“Maka dalam konteks yang disampaikan oleh  Prof Koentjoro dan teman-teman guru besar, baik di UI ataupun di UGM harus kita lihat ini sebagai sebuah vitamin bagi demokrai kita, vitamin bagi kemajuan bangsa kita,” tambahnya.

Joko juga mengatakan, saat berada memberikan pendapat di ruang publik, tanggapan pro dan kontra pasti akan ada.

Hal seperti itu, kata dia bukan hanya dialami oleh Koentjoro, melainkan dirinya pun mengalami.

“Tentu ketika kita masuk ke ruang publik dan memberikan pendapat, bukan hanya Prof Koentjoro, Prof, saya pun juga ketika saya mauk ke ruang publik itu pasti menimbulkan pro dan kontra, ada yang mendukung ada yang tidak mendukung,” bebernya.

“Ketika itu tidak mendukung, ekspresinya macam-macam, seperti yang tadi disampaikan oleh Prof Koentjoro, ada yang japri langsung, ada yang melalui akun sosial media kita.”

Dalam dialog itu, Joko juga menegaskan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perbedaan pendapat dan berekspresi sangat jelas, yakni mendapatkan perlindungan.

“Lihat saja, berapa banyak cacian, makian, bahkan kritik yang dialamatkan pada Bapak Presiden Jokowi, pernah nggak beliau membawa itu ke ranah hukum.”

“Inilah yang harus sama-sama kita jaga. Bahwa ada perbedaan pendapat antara saya mungkin dengan Prof Koentjoro, ya itu adalah perbedaan pendapat yang perlu kita dialogkan,” tambahnya.

Pada titik itu, kata Joko, KSP membuka pintu-pintu dialog dengan sangat lebar, untuk mendiskusikan perbedaan dan kritik yang ada.

“Mari, apa saja yang menjadi perbedaan, apa saja yang menjadi kritik untuk kita dialogkan, karena tidak bisa perbedaan-perbedaan ini hanya diramaikan di ruang publik tanpa kita berdialog dan mencari solusi terbaik bagi kemajuan bangsa.”

Sebelumnya, Sebelumnya, Koentjoro mengaku mendapatkan teror sebanyak tiga kali, yakni melalui media sosial Instagram, aplikasi pesan Whatsapp, dan didatangi ke kantornya.

Baca Juga: MK Lantik Gugus Tugas Bersiap Tangani Gugatan Sengketa Hasil Pemilu 2024, Tak Libatkan Anwar Usman

“Saya mendapatkan pesan caci maki itu dua kali. Saya senang malahan mendapatkan pesan caci maki itu karena saya bisa tahu karakternya, siapa dia, malah saya gunakan sebagai obyek belajar saya,” tuturnya.

“Saya menemukan dua bentuk media yang seperti itu. Yang satu itu saya mengistilahkan sebagai lone wolf, yaitu mereka pendukung setia yang berjuang sendirian.”

Teror lain dilakukan melalui aplikasi Instagram dan dilakukan bukan hanya oleh satu atau dua orang, Koentjoro menduga mereka merupakan kelompok pendengung atau buzzer.

“Mereka tersistem, tidak hanya satu atau dua orang, ketika saya ngomong begini, langsung beberapa orang nimbrung saya. Dan itu saya katakan sebagai kelompok-kelompok buzzer.”

“Yang ketiga adalah mereka datang ke kampus, tadi semakin yakin setelah ada penjelasan dari SKK, Satpam di kampus menjelaskan bahwa mereka hari kedua ada yang berpura-pura ODGJ,” tuturnya.


 




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x