JAKARTA , KOMPAS TV – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Rudianto Lallo mengingatkan pimpinan Polri untuk tidak melindungi anggota yang diduga melakukan pelanggaran hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan Rudianto menanggapi kasus dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro.
"Polri tidak boleh terkesan melindungi anggotanya yang melanggar hukum. Jika ada oknum yang bukan hanya melanggar kode etik, tetapi juga tindak pidana, maka harus diberikan sanksi tegas," ujar Rudianto di gedung DPR, Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Baca Juga: Update Kasus Dugaan Pemerasan AKBP Bintoro, Polisi Kini Terima Laporan Penipuan Jual Mobil Mewah
Rudianto menegaskan, sanksi tegas seperti Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) harus diterapkan agar memberikan efek jera bagi anggota Polri lainnya.
"Supaya ada efek jera, agar tidak ada lagi anggota Polri yang menyalahgunakan kewenangan yang diberikan negara," katanya.
Setelah PTDH, kata dia, aparat penegak hukum harus tetap mengusut dugaan tindak pidana lainnya.
"Dia harus dihukum dulu dengan PTDH, setelah itu jika terbukti ada tindak pidana seperti pemerasan atau suap, proses hukum harus tetap berjalan. Ini yang harus kita dorong kepada pimpinan Polri," ungkapnya.
Sebelumnya Kompas.tv memberitakan, perkara dugaan pemerasan yang melibatkan mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro, berbuntut panjang. Polisi kini menerima laporan dugaan penipuan atau penggelapan tindak pidana pencucian uang.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam, mengatakan, laporan itu dibuat oleh kuasa hukum AN yang berinisial PM.
AN merupakan tersangka kasus dugaan pembunuhan dan pelecehan seksual yang kemudian melalui kuasa hukumnya menggugat AKBP Bintoro.
Laporan polisi SPKT Polda Metro Jaya pada 27 Januari 2025 itu dengan terlapor berinisial EDH.
Baca Juga: Fakta Baru! Kasus Dugaan Pemerasan Anak Bos Prodia, AKBP Bintoro & 3 Polisi Dipatsus!
Berdasarkan laporan tersebut, pada April 2024, EDH meminta AN menjual mobil mewahnya untuk mengurus perkara hukum yang sedang menjerat AN, yakni pembunuhan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur berinisial FA (16).
Kemudian AN meminta hasil penjualan mobil mewah tersebut ditransfer terlebih dahulu ke dirinya sebesar Rp3,5 miliar.
“Akan tetapi, sampai dengan saat ini, uang penjualan mobil mewah milik korban (AN) tidak diberikan oleh terlapor (EDH), dan saat ini mobil milik korban tidak dikembalikan oleh terlapor,” imbuh Ade Ary.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.