> >

Kedaulatan Wilayah, Elemen Penting dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Advertorial | 26 September 2022, 18:36 WIB
Frisca Clarissa dan Menko Polkumham Mahfud MD dalam program Daulat Nusantara. (Sumber: Dok. Tangkapan layar YouTube Kompas TV)

Ada juga masalah perbatasan dengan Timor Leste, tepatnya sekitar 4.500 KM area yang masih menjadi sengketa. Masalah-masalah seperti itu harus benar-benar dijaga karena nantinya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat terhadap harga diri bangsa.

“Jadi, kalau kita cinta pada negeri memang harus sungguh-sungguh. Jangan hanya (menjaga) yang di dalam itu, tapi yang di pinggir-pinggir itu harus kita jaga bersama. Ini masalah dignity,” ucap Mahfud.

Belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, ada sejumlah pelajaran yang dapat diambil agar tidak terulang lagi. Pada 2002, Pulau Sipadan dan Ligitan diberikan kepada negara Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional.

Mahfud menjelaskan, kemampuan diplomasi dan kemampuan beracara di Mahkamah Internasional merupakan faktor penting. Selain itu, faktor historis juga tidak kalah penting.

Mahfud mencontohkan, sebuah daerah pinggiran yang menurut hukum menjadi wilayah negara  tetapi tidak pernah diurus selama 30 tahun, dapat menjadi wilayah negara lain yang mengurusnya.

Baca Juga: Kominfo "Kedaulatan Itu Tak Bisa Dibeli!" (3) - NGOPI

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2017, Indonesia mempunyai 111 pulau terluar yang harus dijaga.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana cara agar Indonesia terhindar dari konflik regional. Kasus yang sering terjadi adalah overlapping claim, yaitu klaim tumpang tindih antarnegara.

Bila overlapping claim terjadi, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menghindari penggunaan kekerasan karena tidak diakui dalam konteks hukum internasional. Kedua, melakukan perundingan atau sebagai alternatif pergi ke Mahkamah Internasional untuk mendapat putusan.

Namun, kendali di Mahkamah Internasional ada di para hakim Mahkamah Internasional sehingga  hal tersebut tidak termasuk opsi terbaik. Karena itu, pemerintah Indonesia sering melakukan perundingan bila terjadi overlapping claim dengan negara tetangga.

Prof. Hikmahanto menambahkan, ada satu hal yang perlu dipahami bahwa ada juga negara yang mengklaim satu wilayah yang tidak dikenal. Dalam konteks laut, wilayah tidak dikenal ini masuk dalam hukum laut internasional, yaitu konvensi hukum laut.

Sebagai contoh, Cina mengklaim adanya Sembilan Garis Putus, tetapi pemerintah Indonesia sejak awal tidak pernah mengakui Sembilan Garis Putus tersebut. Bahkan, pada 2016, sudah ada putusan dari Permanent Court of Arbitration yang mengatakan Sembilan Garis Putus tidak dikenal dalam Konvensi Hukum Laut ‘82.

Oleh karena itu, dalam konteks seperti ini, pemerintah Indonesia tidak perlu berunding dengan pemerintah Cina. Indonesia harus mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang beririsan dengan Sembilan Garis Putus Cina.  

Menurut Prof. Hikmahanto, pemerintah Indonesia harus terus dan tidak bosan membangun diri nelayan-nelayan lokal agar mengambil sumber daya alam yang ada di Zona Ekonomi Eksklusif.

Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, diantaranya kapal-kapal dari Pantura diarahkan untuk mengambil ikan di Natuna Utara.

Poin yang perlu ditekankan adalah banyak permasalahan perbatasan antarnegara yang bisa ditempuh melalui jalur perundingan.

Di sisi lain, ada kemungkinan pihak lain, misalnya negara ketiga yang tidak suka dan berupaya untuk menggagalkan apapun kesepakatan lain sehingga harus diwaspadai.

Penulis : Adv-Team

Sumber : Kompas TV


TERBARU