> >

Kedaulatan Wilayah, Elemen Penting dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Advertorial | 26 September 2022, 18:36 WIB
Frisca Clarissa dan Menko Polkumham Mahfud MD dalam program Daulat Nusantara. (Sumber: Dok. Tangkapan layar YouTube Kompas TV)

KOMPAS.TV – Komplikasi krisis Rusia-Ukraina menyebabkan persoalan kedaulatan, kemandirian ekonomi, serta energi menjadi isu yang kian sensitif bagi tiap negara dan bangsa.

Di sisi lain, upaya menjaga kedaulatan dan meningkatkan kemandirian  merupakan tantangan bagi semua bangsa, termasuk Indonesia.

Program Daulat Nusantara yang dipandu Frisca Clarissa akan membahas penjagaan kedaulatan di Indonesia, khususnya di Natuna yang terletak di Laut Cina Selatan.

Menko Polkumham Mahfud MD, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana, dan Pengamat Intelijen & Militer Soleman B. Ponto akan menjadi narasumber pada kesempatan ini.

Secara yuridis, jelas nama Natuna merupakan bagian integral dari wilayah Indonesia. Menko Polkumham Mahfud MD memaparkan, Indonesia menjaga kedaulatan berdasarkan prinsip konstitusi tujuan negara, yaitu itu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.

Kalimat "bagi segenap bangsa" berarti kedaulatan ideologi, sementara kalimat "bagi segenap tumpah dari” bermakna kedaulatan teritori. Konstitusi memberikan dua instrument terkait cara menjaga kedaulatan, yakni instrumen pertahanan dan instrumen keamanan.

Instrumen tersebut secara khusus menjaga kedaulatan yang mencakup hukum, wilayah, perlindungan atas kedaulatan, dan hak berdaulat. Pemerintah terus melakukan pembinaan terkait hal tersebut, baik secara hukum, peraturan, maupun kelembagaan, salah satunya melalui Bakamla (Badan Keamanan Laut Republik Indonesia).

Bakamla bertugas mengkoordinasikan seluruh kegiatan laut di Indonesia termasuk kedaulatan wilayah. Bakamla bergerak bersama institusi lain, seperti Polri dan Angkatan Laut.  

Mahfud menegaskan, dalam sebuah negara yang merdeka, tidak boleh ada secuil pun tanah atau air yang bisa diambil atau dimanfaatkan orang lain tanpa seizin negara tersebut.

Baca Juga: Upaya Pemerintah Dalam Menjaga Kedaulatan Indonesia - Daulat Nusantara

Bila sebuah negara membiarkan dan tidak mampu mengatasinya, berarti tidak berdaulat karena melanggar sumpah ketika merdeka. Karena itu, menjaga kedaulatan wilayah merupakan elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kalau kita bicara kedaulatan kedaulatan teritorial itu ada dua, belahan barat dan timur. Pulau Natuna di belahan barat yang sering dimasuki dimasuki secara ilegal di perairan kita. Sedangkan di belahan timur sana ada separatis Papua," terang Mahfud.

"Meskipun kecil, itu ‘kan kedaulatan, terlebih kalau ingin memisahkan diri dan sebagainya. Nah, kita tangani ini sesuai dengan jenisnya masing-masing tergantung seberapa kekuatan mereka,” sambungnya.

Mahfud menambahkan, untuk menjaga kedaulatan tidak hanya bicara persenjataan, jumlah tentara, atau jumlah kapal. Namun, diperlukan juga kekuatan diplomasi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk diplomasi terlebih dahulu demi menghindari perang.

Indonesia berpegang teguh pada United Nation Convention of Law of the Sea atau UNCLOS 1982 yang membahas perihal hukum kelautan. Dengan begitu, negara dapat berunding terlebih dahulu dan menyelesaikannya secara hukum.

Sebagai contoh, saat ini Indonesia sedang mengadakan pembicaraan dengan Vietnam terkait kedaulatan teritorial. Indonesia dan Vietnam memiliki daerah yang berhimpitan sehingga diperlukan diskusi bilateral berdasarkan hukum internasional.

Ada juga masalah perbatasan dengan Timor Leste, tepatnya sekitar 4.500 KM area yang masih menjadi sengketa. Masalah-masalah seperti itu harus benar-benar dijaga karena nantinya akan berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat terhadap harga diri bangsa.

“Jadi, kalau kita cinta pada negeri memang harus sungguh-sungguh. Jangan hanya (menjaga) yang di dalam itu, tapi yang di pinggir-pinggir itu harus kita jaga bersama. Ini masalah dignity,” ucap Mahfud.

Belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, ada sejumlah pelajaran yang dapat diambil agar tidak terulang lagi. Pada 2002, Pulau Sipadan dan Ligitan diberikan kepada negara Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional.

Mahfud menjelaskan, kemampuan diplomasi dan kemampuan beracara di Mahkamah Internasional merupakan faktor penting. Selain itu, faktor historis juga tidak kalah penting.

Mahfud mencontohkan, sebuah daerah pinggiran yang menurut hukum menjadi wilayah negara  tetapi tidak pernah diurus selama 30 tahun, dapat menjadi wilayah negara lain yang mengurusnya.

Baca Juga: Kominfo "Kedaulatan Itu Tak Bisa Dibeli!" (3) - NGOPI

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2017, Indonesia mempunyai 111 pulau terluar yang harus dijaga.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana cara agar Indonesia terhindar dari konflik regional. Kasus yang sering terjadi adalah overlapping claim, yaitu klaim tumpang tindih antarnegara.

Bila overlapping claim terjadi, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menghindari penggunaan kekerasan karena tidak diakui dalam konteks hukum internasional. Kedua, melakukan perundingan atau sebagai alternatif pergi ke Mahkamah Internasional untuk mendapat putusan.

Namun, kendali di Mahkamah Internasional ada di para hakim Mahkamah Internasional sehingga  hal tersebut tidak termasuk opsi terbaik. Karena itu, pemerintah Indonesia sering melakukan perundingan bila terjadi overlapping claim dengan negara tetangga.

Prof. Hikmahanto menambahkan, ada satu hal yang perlu dipahami bahwa ada juga negara yang mengklaim satu wilayah yang tidak dikenal. Dalam konteks laut, wilayah tidak dikenal ini masuk dalam hukum laut internasional, yaitu konvensi hukum laut.

Sebagai contoh, Cina mengklaim adanya Sembilan Garis Putus, tetapi pemerintah Indonesia sejak awal tidak pernah mengakui Sembilan Garis Putus tersebut. Bahkan, pada 2016, sudah ada putusan dari Permanent Court of Arbitration yang mengatakan Sembilan Garis Putus tidak dikenal dalam Konvensi Hukum Laut ‘82.

Oleh karena itu, dalam konteks seperti ini, pemerintah Indonesia tidak perlu berunding dengan pemerintah Cina. Indonesia harus mempertahankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang beririsan dengan Sembilan Garis Putus Cina.  

Menurut Prof. Hikmahanto, pemerintah Indonesia harus terus dan tidak bosan membangun diri nelayan-nelayan lokal agar mengambil sumber daya alam yang ada di Zona Ekonomi Eksklusif.

Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, diantaranya kapal-kapal dari Pantura diarahkan untuk mengambil ikan di Natuna Utara.

Poin yang perlu ditekankan adalah banyak permasalahan perbatasan antarnegara yang bisa ditempuh melalui jalur perundingan.

Di sisi lain, ada kemungkinan pihak lain, misalnya negara ketiga yang tidak suka dan berupaya untuk menggagalkan apapun kesepakatan lain sehingga harus diwaspadai.

Penulis : Adv-Team

Sumber : Kompas TV


TERBARU