> >

"Wadas seperti Desa Mati", Warga yang Kontra "Lari ke Luar Desa Hindari Intimidasi"

Bbc indonesia | 11 Februari 2022, 18:11 WIB
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Semarang Raya mengikuti aksi Kamisan Solidaritas Untuk Warga Wadas di depan Mapolda Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/2/2022). (Sumber: Antara via BBC Indonesia)

Masyarakat Desa Wadas, Jawa Tengah, yang menolak melepas kepemilikan tanah untuk pertambangan andesit, mengatakan mereka masih merasakan intimidasi aparat, dua hari setelah penangkapan massal terhadap warga penolak proyek strategis nasional itu.

Situasi panas di Wadas terjadi karena pemerintah memaksakan proyek yang dirancang tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat lokal, kata pegiat hak asasi manusia.

Meski pro dan kontra belum tuntas, pemerintah pusat menyatakan akan tetap melanjutkan pembangunan Bendungan Bener yang berstatus proyek strategis nasional di Kabupaten Purworejo tersebut.

Baca juga:

Kondisi Wadas, Kamis (10/02), belum tenang meski kepolisian telah melepas 67 penolak proyek yang mereka tangkap Selasa lalu (08/02). Aparat, baik yang berseragam maupun tidak, saat ini masih bersiaga di Wadas.

Sejumlah warga Wadas memutuskan untuk mengungsi keluar desa demi menghindari intimidasi dan paksaan aparat.

Sulaiman adalah salah satu orang yang memilih tidak pulang ke Wadas setelah dipulangkan dari kantor Polsek Purworejo. Dia cemas akan mendapat paksaan untuk menyetujui alih kepemilikan tanah kepada pemerintah.

"Kondisi hari ini sangat menakutkan sekali, jadi warga mencari keamanan masing-masing, ada yang ke hutan atau yang penting tidak di Wadas," kata Sulaiman.

"Tadi malam ada rombongan orang bermotor berkeliling desa sambil berkoar-koar supaya warga mengumpulkan SPPT di rumah salah satu warga yang pro.

"Warga takut dan tidak bisa tidur karena merasa terancam. Anggota Brimob masih berada di Wadas, bahkan tidur di teras rumah-rumah warga dan masjid.

"Ada 10 truk polisi masuk desa, angkut aparat bersenjata dan anjing pelacak. Infonya anjing itu akan dilepas untuk mencari warga yang bersembunyi di hutan," ujarnya.

Kecemasan itu makin menjadi-jadi karena muncul kabar bahwa warga Desa Kali Wader yang memiliki tanah di Wadas didatangi aparat dan dimintai tanda tangan persetujuan.

Warga penolak yang tinggal di desa sebelah Wadas itu, kata Sulaiman, diancam ditangkap jika menolak meneken dokumen.

Sulaiman mendengar desas-desus, warga akan dipaksa turut mengikuti pengukuran lahan yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Setelah mendengar itu, kami langsung bersembunyi. Kami takut," ujar Sulaiman.

"Hari ini memang tidak ada penangkapan, tapi Wadas seperti desa mati karena banyak warga menutup pintu rumah mereka," kata dia.

Situasi yang dipaparkan Sulaiman ini bertolak belakang dengan klaim juru bicara Polda Jawa Tengah, Kombes Iqbal Alqudusy. Dia menyebut situasi Desa Wadas saat ini sudah kondusif.

Lewat keterangan tertulis, Iqbal berkata pihaknya masih mendampingi pegawai Kantor Wilayah BPN Jateng yang mengukur ratusan bidang tanah di Wadas.

Lahan yang diukur itu, kata Iqbal, dimiliki warga Wadas yang tidak keberatan atas proses ganti kerugian terkait pengadaan tanah galian untuk proyek bendungan.

Sabar, seorang warga Wadas yang menyetujui ganti kerugian itu, berkata ingin segera melepas tanahnya kepada pemerintah.

Saat ditemui rombongan anggota Komisi III DPR, Sabar mengaku sepakat dengan harga sekitar Rp120 ribu per meter tanah yang ditetapkan pemerintah.

"Hitung-hitungan harganya kami sudah tahu. Masalah hak, yang menolak proyek punya hak, yang menerima juga punya hak. Tolong hargai kami yang menerima," kata Sabar.

"Kami yang sudah menerima tolong diberi wewenang untuk melepas hak kami," tuturnya.

Ketua Komisi III DPR, Desmond Mahesa, menilai huru-hara di Wadas semestinya tidak terjadi. Menurutnya, warga Wadas berhak menolak ganti kerugian tanah. Alasannya, Wadas tidak berada di pusat pembangunan Bendungan Bener.

Desmond merujuk ketentuan bahwa hanya warga yang berada di lokasi proyek strategis nasional yang secara hukum wajib menerima proses ganti rugi.

"Karena di luar bendungan, masyarakat Wadas bisa menolak karena mereka tidak melanggar aturan apapun. Hak menolak ada pada mereka," kata Desmond usai berkunjung ke Wadas.

"Harapan saya terkait pro-kontra ini, pelaksana proyek bisa menyelesaikannya secara baik-baik," ujarnya.

Bendungan Bener merupakan satu dari 201 proyek strategis nasional yang ditetapkan pemerintah pusat. Walau begitu, Wadas tidak termasuk desa yang akan ditenggelamkan saat bendungan itu beroperasi.

Namun dalam rencana pemerintah, kepemilikan lahan warga Wadas perlu diambil alih negara. Lahan itu akan dibuka menjadi pertambangan batu andesit--material utama pembangunan Bendungan Bener.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012, setiap orang dan badan hukum wajib melepaskan hak kepemilikan saat proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum berlangsung.

Pasal 5 dalam beleid itu menyatakan, pelepasan hak itu wajib dilakukan setelah pemberian ganti kerugian atau setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Dasar hukum ini kerap diacu pemerintah saat menjalankan proyek strategis nasional.

Meski pro-kontra pengadaan tanah untuk Bendungan Bener masih terus terjadi di Wadas, pemerintah mengatakan tidak akan menghentikan proyek ini.

"Tetap kami lanjutkan. Kalau kami lihat, manfaat bendungan ini sangat besar," kata Direktur Bendungan dan Danau di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Airlangga Mardjono, via pesan singkat.

Bagaimanapun, sejumlah kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah tidak mengintimidasi dan memaksa warga penolak proyek ini.

Merujuk kejadian sejak awal pekan ini, pengerahan aparat dalam jumlah masif hingga penangkapan yang tidak sesuai hukum acara pidana semestinya tidak dilakukan terhadap penentang proyek, kata Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia.

"Keliru jika dikatakan masalah Wadas adalah konflik horizontal, yang benar adalah konflik vertikal antara warga dan negara," ujar Usman.

"Benar ada perbedaan pendapat di antara warga, tapi itu terjadi karena pemerintah terburu-buru memaksakan proyek strategis nasional tanpa partisipasi, konsultasi, dan persetujuan warga," ucapnya.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Rabu (09/02), menyebut tidak akan mengambil paksa lahan warga Wadas yang menolak proyek. Ganjar berkata, pihaknya akan mengajak warga untuk berdialog, salah satunya dengan perantaraan Komnas HAM.

"Kami sebenarnya menunggu-nunggu adanya pertemuan, sehingga kami bisa sampaikan, dan kami bisa jawab apa yang mereka tanyakan," ujar Ganjar.

Pendamping warga Wadas dari Yayasan Lembaga Hukum Indonesia, Zainal Arifin, berkata Ganjar pada Januari lalu pernah mengundang warga untuk berdialog. Namun selain mendadak, Ganjar tidak menyetujui permintaan agar rembukan itu digelar di Wadas.

Namun dialog pada tahap pelaksanaan proyek ini menurut Zainal akan sia-sia dan tetap tak menguntungan masyarakat.

"Seharusnya warga dilibatkan sejak awal, yaitu pada penyusunan Analisis Dampak Lingkungan. Proses itu dilewatkan pemerintah dan pelibatan warga hanya dimaknai dengan kehadiran kepala desa," kata Zainal.

"Semestinya proyek ini dikaji ulang karena ada persoalan normatif dan substansial," ucapnya.

Wandy Tuturoong, Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden, secara umum menyebut lembaganya selama ini selalu menindaklanjuti keluhan warga yang menolak proyek strategis nasional.

Upaya itu, kata Wandy, adalah salah satu cara melancarkan hambatan pelaksanaan proyek.

"Kami sering didatangi masyarakat di lokasi proyek bendungan atau jalan, katanya ada penggusuran. Kami bantu selesaikan masalah itu agar kepentingan semua pihak ditempatkan secara pas," ujarnya.

"Biasanya kami panggil kementerian atau BUMN terkait yang terlibat, kami pertemukan mereka," kata Wandy.

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyebut bahwa pembebasan tanah adalah hambatan terbesar proyek strategis nasional. Dia mengatakan itu pada rapat terbatas, 29 Mei 2020.

Sementara itu, progres pembangunan Bendungan Bener merupakan yang paling lamban dibandingkan proyek bendungan lain yang berstatus strategis nasional.

Keterangan itu dikatakan Koordinator Tim Infrastruktur Kedeputian I Kantor Staf Presiden, (KSP) Helson Siagian, dalam rapat koordinasi dengan otoritas di Purworejo, Februari 2021.

"Progres belum mencapai target semestinya padahal kontrak sudah dimulai sejak tahun 2018," ujarnya ketika itu.

*Ali Mukti, wartawan di Purworejo, berkontribusi untuk liputan ini

 

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU