> >

Kiai dan Mahaguru Politik Orang NU Itu Bernama KH Idham Chalid

Risalah | 24 April 2022, 04:55 WIB
Sosok muda KH Idham Chalid, mahaguru politik orang-orang NU yang berpengaruh hingga kini (Sumber: NU Online)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sosok kiai ini terlukis dalam uang kertas pecahan Rp5.000 dan merupakan tokoh dengan predikat komplet: Ulama, pejuang, politisi, tokoh dan seorang pahlawan nasional. Nama sosok ini biasa dipanggil Kiai Idham Chalid.

Kiai Idham atau KH Idham Chalid adalah ulama berpengaruh dan disebut sebagai mahaguru politik dari orang-orang Nahdlatul Ulama (NU). Pemikiran dan pengaruhnya terus mengalir hingga saat ini.

Begitu kuat pengaruhnya dalam dunia politik dan keulamaan di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011 lalu, berdasarkan SK Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.

Sosok kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921 ini jadi putera Banjar yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional setelah Hasan Basry dan Pangeran Antasari.

Begitu kuat pengaruhnya sosok Kiai Idham Cholid dalam lanskap politik keumatan dalam sejarah, membuat Ahmad Syafi’I Maarif, Tokoh Bangsa sekaligus Guru Besar Sejarah Universitas Yogyakarta, menyebut Kiai Idham Chalid sebagai figur puncak politik di NU dalam sejarah.

“Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno adalah sesepuh bangsa Indonesia secara keseluruhan, sementara dalam kubu NU, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Idham Chalid adalah figur puncak yang menentukan secara mutlak warna politik NU,” tulisnya dalam buku Percaturan Islam dan Politik (2021) Hal 129.

Baca Juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan

Jejak Masa Kecil Idham Chalid

Dikutip dari buku Idham Chalid: Guru Politik orang NU (2017) yang ditulis Ahmad Muhadjir, sosok Idham muda memang sudah lekat dengan dunia para ulama. Ia juga dikenal sebagai orang yang cerdas  dan berbakat dari kecil.

Sedari kecil, kemampuan berpikir dan berorasi Idham Chalid begitu kuat. Kelak, di kemudian hari, gaya retorika di panggung bisa sangat membius sejak menempuh pendidikan di sekolah rakyat (SR) hingga menjadi santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jatim pada 1922.

“Kelak, kemampuan pidatonya diakui secara luas di kancah nasional, baik sebagai penceramah, jurkam ataupun pengajar. Kemampuan ini dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati jadi modal bagi perjalanannya di dunia politik,” tulisnya di Hal 21.

Sosok KH Idham Chalid di pecahan Rp5 ribu. (Sumber: Bank Indonesia)

Perjuangan Politik di NU

Saat masa revolusi, lewat kemampuan berbahasa yang ia miliki, Jepang, Inggris, dan Arab, ia jadi penyambung lidah para ulama dengan Jepang, mulai dari penerjemahan surat hingga urusan diplomasi.

Ketika merdeka, ia lantas tergabung di sejumlah organisasi dan ikut juga tergabung dengan Masyumi.

Lantas, ketika NU keluar dari Masyumi karena perbedaan politik, ia pun bergabung dengan Partai NU yang dibawanya menjadi besar hingga menjadi salah satu kekuatan terbesar di zaman itu.

NU jadi partai besar, bahkan pada Pemilu 1955 yang dianggap para sejarawan jadi pemilu paling demokratis dalam sejarah, NU dibawanya memperoleh suara nomor 3 setelah PNI dan Masyumi.

Waktu itu, dalam metode berpikir KH Idham Chalid, harus ada unsur agama yang berada di kekuasaan. Biar unsur umara, konsep untuk kepemimpinan, harus ada penyeimbang, yakni unsur ulama agar segala keputusan nantinya tetap berada di tengah.  

Untuk itulah, ia cukup dekat dengan Bung Karno dan bahkan dianggap terlalu dekat hingga kadang membuat umat kebingungan dengan zigzag politik yang ia bangun.

Saking besarnya pengaruh KH Idham Chalid, ia jadi terpilih jadi Ketum PBNU termuda dalam sejarah yakni pada usia 34 tahun. Ia terpilih dalam Muktamar ke-21 NU di Medan.

Selain itu, sejarah mencatat, ia juga menjadi Ketum PBNU terlama yang menjabat, yakni dari 1956-1984 atau selama 28 tahun. Pengganti setelahnya adalah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kelak akan jadi Presiden ke-4 RI.

Baca Juga: Syekh Ahmad Surkati: Dari Sudan Jadi Ulama Pembaharu Islam dan Mendirikan Al-Irsyad di Indonesia  

Filosofi Air dalam Berpolitik

Salah satu filosofi yang dipegang oleh KH Idham Chalid dalam berpolitik adalah soal air. Baginya, politik adalah urusan pengaruh. Terkait hal tersebut, maka harus bergerak dan tidak saklek hingga menjadikan air itu rusak karena tidak luwes.

Untuk itulah, ketika dalam masa revolusi, saat Bung Karno menelurkan konsep Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) yang kontroversial dalam sejarah, ia justru mendukungnya. Padahal, banyak unsur Islam yang menolak karena menganggap menyamaratakan antara komunisme dan agama.

Bagi Idham Chalid sebaliknya, justru Islam -khususnya NU- harus masuk dalam sistem sebagai pembanding. Faktanya, memang demikian yang terjadi.

Selama masa periode Bung Karno memimpin, ia pernah menjabat posisi penting di pemerintahan, mulai dari Wakil Perdana Menteri pada 1956 hingga jabatan Menteri.

Setelah peristiwa 30 September yang menggulingkan Bung Karno, berubah dengan Orde Baru pimpinan Soeharto, Idham Chalid tetap bercokol di tepian kekuasaan, seperti menjadi anggota DPR-MPR hingga jadi penyeimbang pemerintah Orde Baru yang mulai berkuasa penuh atas Republik. 

Ia masih menjabat ketum PBNU dan secara politik tetap kuat, Soeharto tentu tidak mau ambil risiko menghadapi kekuatan politik yang besar itu. Ketika Soeharto membuat unifikasi partai pada 1971, ia adalah deklarator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai penyeimbang PDI dan Golkar—bikinan Orde Baru.

Filosofi air membuat Idham Chalid terus bergerak dan itulah alasan, ia disebut guru politik -bahkan mahaguru politik orang-orang NU. Berpolitik dengan gagasan dan visi mempertahankan Republik, bukan sekadar kekuasaan pendek semata ataupun perkara finansial.

Kelak, orang-orang menyebutnya sebagai politik keumatan. Inspirasinya dari sosok KH Idham Chaid.

Selain di politik nasional, laiknya seorang ulama, ia juga berkiprah dalam masyarakat, khususnya lewat pendidikan dengan sejumlah pesantren dan sekolah.

Mahaguru Politik Itu Berpulang 

Bagi warga NU, ada dua jenis kiai. Satu adalah kiai pondok, yang mengurus pesantren dan kiai yang berpolitik. Jenis kedua ini identik dengan laku dari KH Idham Chalid, meskipun ia juga mengabdikan hidupnya mengembangkan pesantren.

Setelah mengabdikan hidupnya untuk umat, KH Idham Chalid pun berpulang pada 11 Juli 2010 di Kompleks Pondok Pesantren Yatim Piatu Darul Qur'an, Jalan Raya Puncak, Cisarua. Makamnya masih ramai diziarahi sampai sekarang, tidak hanya warga NU semata, tapi juga oleh banyak masyarakat. 

Bukti KH Idham Chalid bukan sekadar ulama-politisi semata, tapi juga kiai yang mengayomi umat.

 

Penulis : Dedik Priyanto Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU