> >

Permintaan Maaf Belanda dan Sekelumit Kisah Kepindahan Ibu Kota Jakarta di Zaman Revolusi

Dongeng kebangsaan | 21 Februari 2022, 06:10 WIB
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. (Sumber: Associated Press)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pemerintah Belanda pada hari Kamis (17/2/2022) meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Permintaan maaf itu disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dalam konferensi pers di Brussels, ibu kota Belgia.

Rutte mengatakan pemerintahnya mengakui seluruh temuan yang dihasilkan tinjauan sejarah yang bagi Belanda sangat penting.

Menurut penelitian tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematis, keterlaluan, dan tidak etis dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya.

Penelitian dan kajian sejarah resmi yang didanai pemerintah Belanda itu memublikasikan temuan yang menyimpulkan, pasukan Belanda menggunakan “kekerasan ekstrem”, seringkali dengan sengaja, selama perang kemerdekaan Indonesia. Sementara pada saat itu, para pemimpin militer dan politikus di Belanda sebagian besar mengabaikan ekses tersebut.

Aksi kekerasan tentara Belanda di tanah air pasca kemerdekaan 1945-1949, sebenarnya tidak sedikit dikupas oleh orang Indonesia sendiri.   

Wartawan Rosihan Anwar, misalnya, mengabadikan kisah tersebut dalam sebuah buku "Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi," yang diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1976.

Dalam buku tersebut digambarkan, setelah proklamasi kemerdekaan 1945, situasi ibu kota Jakarta justru tidak aman. Banyak pemuda yang turun ke jalan-jalan bentrok dengan pasukan Jepang atau Belanda.

Baca Juga: Isi Permintaan Maaf PM Belanda Mark Rutte untuk Indonesia

Bukan hanya itu, ternyata banyak juga orang yang masih mendukung Belanda, terutama tentara NICA. Menurut penuturan Rosihan Anwar, kala itu disebutnya zaman "siap-siapan" yaitu ketika anak muda memiliki kode "siap" untuk menyerang musuh-musuh mereka. 

Belanda memang masih terus melakukan penyerangan terhadap para pemuda kala itu selain tidak mengakui proklamasi kemerdekaan. 

Adinegoro, wartawan Pewarta Deli saat tiba dari Medan menyebutkan kondisi Jakarta kala itu, "Bukan suasana kemerdekaan."

Adinegoro menggambarkan peristiwa kekacauan di Jakarta oleh para tentara NICA. Teror dan saling serang bukan saja terjadi antara tentara sekutu dengan para pemuda di Jakarta, namun juga menyasar para tokoh. Tercatat pada 20 Desember 1945 pukul 12 siang, rumah Perdana Menteri Sjahrir diobrak-abrik 7 orang NICA.

Tak menemukan Sjahrir di rumahnya, para tentara mencegat Sjahrir di jalanan. Kala itu, Sjahrir yang tak punya pengawal menyetir sendiri mobilnya. Siang itu, tiba-tiba lima serdadu menyetop dan menembak ke arahnya. Beruntung, hanya kena kap mobil. 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU