> >

Permintaan Maaf Belanda dan Sekelumit Kisah Kepindahan Ibu Kota Jakarta di Zaman Revolusi

Dongeng kebangsaan | 21 Februari 2022, 06:10 WIB
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. (Sumber: Associated Press)

Sjahrir pun terus melaju ke rumahnya di Jalan Jawa No.61. 

Sehari sebelumnya, mobil Profesor Soepomo digedor-gedor di halaman rumahnya pada tengah malam oleh serdadu Belanda. 

Kemudian Wartawati Herawati Diah ditangkap dan diperiksa, tapi kemudian dilepas kembali.

Pada 28 Desember Belanda menembaki mobil Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin. Bukan hanya itu, di akhir tahun 1945 itu, semua instansi yang mengurus layanan umum seperti listrik, air minum dan dan telepon diambil alih NICA. 

Bahkan, pada 29 Desember, kepolisian Indonesia di Jakarta dibubarkan dan dibentuk korps baru bernama Civilian Police (CV) yang anggotanya terdiri dari pribumi, Belanda dan Inggris.

Baca Juga: Belanda Minta Maaf atas Kekejaman Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia Nyatakan Akan Pelajari Dokumen

Kondisi ibu kota yang penuh kekerasan itu, membuat  Sjahrir mengutus Subadio Sasrosatomo (anggota Badan Pekerja KNIP) ke Yogyakarta menemui Sultan Hamengku Buwono IX mempersiapkan kepindahan presiden dan wakil presiden.

Dalam suasana diliputi rahasia, Soekarno-Hatta pun berangkat meninggalkan Jakarta pada 3 Januari 1946 Kamis malam.

Menurut catatan Rosihan Anwar, kereta api yang membawa keduanya berhenti di belakang rumah presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah rombongan naik, kereta bergerak ke Yogyakarta.

Baru keesokan harinya, 4 Januari 1946, rakyat tahu bahwa ibu kota sudah pindah lewat pengumuman.

Pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah RI menyiarkan pengumuman sebagai berikut:

Berhubungan dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, pemerintah RI menganggap perlu akan presiden dan wakil presiden berkedudukan di luar Jakarta.

Baca Juga: Kajian Resmi: Belanda Lakukan Kekerasan Berlebihan Saat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949

Pada 5 Januari Presiden Soekarno berpidato di depan corong RRI tentang kepindahan ibu kota.
Besoknya, diadakan upacara penyambutan oleh Sri Sultan HB IX di Istana Presiden di Yogyakarta.

Kepindahan ibu kota ini sebagai saksi bahwa kedaulatan masih ada, meski terus dirongrong oleh Belanda.

Penulis : Iman Firdaus Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU