Satu Tahun Genosida di Gaza: Ekonomi Israel Ditengarai Sedang dalam Proses Kehancuran
Kompas dunia | 6 Oktober 2024, 12:52 WIBISTANBUL, KOMPAS TV – Perang genosida Israel yang berkepanjangan terus menghancurkan kehidupan dan infrastruktur di Gaza, Palestina, tetapi dampak ekonomi yang ditimbulkan juga berpotensi membawa Israel ke ambang kehancuran.
Para ahli memperingatkan bahwa miliaran dolar yang dihabiskan untuk menghancurkan Gaza dan rakyat Palestina mungkin akan menjadi beban yang terlalu berat bagi ekonomi Israel.
Saat ini, tidak ada tanda-tanda pemulihan. Menurut Shir Hever, seorang ekonom politik Israel, indikator-indikator ekonomi menunjukkan penurunan drastis, dengan investasi asing yang mengering, pariwisata yang menurun tajam, dan eksodus besar-besaran warganya. “Krisis ekonomi ini hanya akan semakin memburuk. Tidak ada prospek pemulihan,” kata Hever dalam sebuah wawancara dengan Anadolu.
Pernyataan Hever sejalan dengan analisis Yoel Naveh, mantan kepala ekonom di Kementerian Keuangan Israel, yang menekankan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk menghindari ancaman krisis keuangan yang kian mendekat. “Jika kita tidak bertindak, ekonomi Israel akan terjerumus dalam resesi yang lebih dalam, yang pada gilirannya akan mengancam keamanan nasional negara ini,” ungkap Naveh.
Baca Juga: Satu Tahun Genosida di Gaza dan Kegagalan Strategis Militer Israel
Biaya Perang yang Tidak Terkendali
Dampak ekonomi akibat serangan Israel di Gaza, yang telah menewaskan dan melukai hampir 96.844 warga Palestina sejak serangan lintas perbatasan Hamas pada Oktober tahun lalu, diperkirakan melebihi $67 miliar (sekitar Rp1.040 triliun), menurut perkiraan para ekonom Israel pada bulan Agustus.
Bank Israel mengumumkan pada bulan Mei bahwa biaya perang ini akan melonjak hingga 250 miliar shekel (sekitar Rp1.040 triliun) menjelang akhir tahun depan. Ekonomi Israel sendiri hanya tumbuh sebesar 0,7% pada kuartal kedua tahun 2024, jauh di bawah proyeksi pertumbuhan sebesar 3% yang diharapkan oleh analis Bursa Saham Tel Aviv.
Hingga Agustus 2024, rasio defisit anggaran terhadap PDB telah mencapai minus 8,3%, meningkat dari minus 7,6% pada bulan Juni, minus 6,2% pada bulan Maret, dan minus 4,1% pada bulan Desember tahun lalu. Pada bulan Agustus saja, defisit anggaran tercatat sebesar 12,1 miliar shekel (sekitar Rp56 triliun).
“Biaya hidup terus meningkat. Inflasi meroket, dan nilai mata uang Israel terus menurun. Semua ini menyebabkan standar hidup masyarakat menjadi lebih rendah,” kata Hever.
Baca Juga: Israel Janjikan Tak Akan ada Keringanan Bagi Hizbullah, Klaim Bunuh 440 Anggota Perlawanan Lebanon
Krisis di Pasar Tenaga Kerja dan Eksodus Warga Israel
Situasi semakin memburuk dengan hilangnya lebih dari 85.000 orang dari angkatan kerja dan sekitar 250.000 orang yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal akibat dampak perang. Hever menekankan bahwa eksodus warga Israel ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah negara tersebut.
“Orang-orang sekarang membeli tiket satu arah hanya untuk melindungi keluarga mereka. Ketika mereka melakukannya, ini menunjukkan bahwa mereka yang tersisa di sini merasa negara ini menuju kehancuran,” jelas Hever.
Dia menegaskan bahwa indikator-indikator ekonomi ini hanyalah bagian dari cerita yang lebih besar.
“Kisah lengkapnya adalah bagaimana pandangan masyarakat terhadap masa depan. Banyak orang tidak percaya bahwa ada masa depan bagi negara Israel. Orang-orang tidak mau berinvestasi, tidak mau mencari pekerjaan, dan bahkan tidak mau membesarkan anak-anak mereka di sini,” kata Hever.
Baca Juga: Deretan Rudal Iran yang Bikin Israel Ngeri dan Netanyahu Gentar
Kehancuran Sektor Bisnis dan Teknologi
Lebih dari 46.000 bisnis telah bangkrut, dan bahkan perusahaan besar juga merasakan dampaknya. “Pelabuhan Eilat, satu-satunya pelabuhan Israel di Laut Merah, juga telah bangkrut,” kata Hever. “Pariwisata di Israel kini berada di titik terendah. Tidak ada wisatawan yang datang. Secara keseluruhan, investasi internasional di Israel hampir tidak ada.”
Sektor teknologi tinggi, yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi Israel, kini berada di bawah tekanan yang besar. “Perusahaan-perusahaan teknologi berusaha untuk merelokasi operasi mereka. Mereka tidak yakin pekerja mereka akan aman dari panggilan dinas militer, dan mereka khawatir bahwa kondisi ekonomi dan politik tidak stabil,” ungkap Hever.
Contohnya, perusahaan keamanan siber Wiz, yang sebelumnya berusaha untuk diakuisisi oleh Google senilai $23 miliar (sekitar Rp360 triliun), mengalami pembatalan kesepakatan akibat kondisi yang tidak menguntungkan. Hal ini menggambarkan betapa rapuhnya kepercayaan internasional terhadap ekonomi Israel.
Sanksi Internasional yang Makin Parah
Krisis ekonomi Israel juga diperburuk oleh gerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) yang semakin meluas. Hever mencatat Israel kini berada di tahap akhir sanksi internasional. “Ketika pemerintah negara lain menyatakan mereka tidak dapat melanjutkan perdagangan dengan negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kita tahu bahwa ini adalah tahap akhir,” katanya.
Keputusan Mahkamah Internasional pada 19 Juli yang menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina melanggar hukum internasional semakin menambah tekanan pada ekonomi Israel. “Israel tidak dapat mengimpor bahan untuk infrastruktur kecuali mereka dapat membuktikan bahwa itu tidak akan digunakan untuk tujuan militer atau untuk pemukiman ilegal,” kata Hever.
“Jika orang-orang berpikir bahwa mungkin untuk memiliki sistem ekonomi yang berfungsi di mana barang-barang dual-use dilarang, itu adalah ilusi. Ekonomi Israel akan runtuh di bawah sanksi internasional sampai mereka mengakui tuntutan hukum internasional,” tambah Hever.
Sementara Israel telah merampas lebih dari 41.800 nyawa warga Gaza dan melukai lebih dari 96.844 lainnya, dukungan kuat dari negara-negara Barat terhadap Israel menimbulkan pertanyaan tentang kepedulian kemanusiaan dalam konflik ini.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Anadolu