Kritik Tajam Lavrov terhadap Rencana Perdamaian Zelensky: Kegilaan yang Menambah Ketegangan di Eropa
Kompas dunia | 1 November 2024, 01:05 WIBMOSKOW, KOMPAS.TV — Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyebut “rencana kemenangan” Presiden Ukraina Vladimir Zelenskyy sebagai kegilaan dan menghambat perdamaian di Eropa.
Menurut diplomat senior Rusia itu, rencana tersebut dan formula lainnya yang diusung Zelensky malah semakin menjauhkan perdamaian.
“Baru-baru ini, parlemen [Ukraina] melarang Gereja Ortodoks Ukraina yang kanonik. Saya ingin mengingatkan bahwa Pasal Pertama Piagam PBB mengharuskan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terlepas dari ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Namun, Barat menutup mata terhadap pelanggaran mencolok ini oleh rezim Ukraina yang anti-Rusia dan rasis,” kata Lavrov dalam sesi pleno Konferensi Internasional Keamanan Eurasia ke-2 di Minsk.
Lavrov melanjutkan, “Barat terus mempromosikan formula perdamaian yang buntu, bahkan bisa saya katakan konyol, dari Zelensky, yang meminta Rusia menyerah."
"Beberapa minggu yang lalu, individu ini merilis 'rencana kemenangan' yang sama gilanya. Tentu saja, formula itu, rencana itu, dan fantasi keanggotaan Ukraina yang dikontrol Kiev di NATO atau Uni Eropa tidak akan mendekatkan perdamaian di Eropa.”
Baca Juga: Rusia: Ukraina Ketar-ketir Hadapi Perkembangan di Garis Depan, Minta Rudal Tomahawk kepada AS
Jaminan Keamanan Jangka Panjang untuk Stabilitas
Menurut Lavrov, stabilitas di bagian benua Eurasia ini hanya mungkin tercapai jika ada "jaminan keamanan jangka panjang dan terpercaya."
Ia menegaskan kembali bahwa Rusia telah mengusulkan inisiatif serupa pada Desember 2021, namun ditolak oleh Barat.
“NATO tidak lagi cukup, mengingat perang yang dipicunya melawan Rusia melalui otoritas ilegal di Kiev. Seluruh area OSCE pun tidak memadai. Kini, AS dan sekutunya berusaha menjadikan seluruh Eurasia sebagai arena konfrontasi geopolitik. Aliansi ini mengakui bahwa ancaman juga muncul dari kawasan Asia-Pasifik, termasuk Laut China Selatan dan Selat Taiwan,” tambah Lavrov.
Lavrov menyatakan bahwa NATO kini berusaha menegaskan dominasi militernya, tidak hanya di Eropa tetapi juga di kawasan timur Eurasia. "NATO menyusup ke kawasan ini dengan dalih strategi Indo-Pasifik, yang merusak mekanisme inklusif," ujarnya.
Sementara itu, Moskow melihat bahwa rezim Kiev semakin “gelisah” akibat perkembangan di medan perang yang tidak menguntungkan, seperti yang disampaikan oleh Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
“Situasi di garis depan sudah jelas dan nyata; semua orang di negara kita bisa melihatnya, dan negara-negara Barat juga mencatat bagaimana peristiwa ini berlangsung,” kata Peskov. Ia menambahkan, “tren saat ini membuat rezim Kiev semakin cemas.”
Peskov menduga bahwa kecemasan inilah yang mendorong Zelenskyy untuk meminta Amerika Serikat memasok rudal jarak jauh Tomahawk, sebagaimana dilaporkan oleh media Barat. Ia juga menyoroti upaya Zelensky untuk melegitimasi keterlibatan militer Barat di Ukraina.
“Jelas, semua ‘rencana perdamaian’ dan ‘rencana kemenangan’, baik yang terbuka maupun tertutup, pada dasarnya adalah upaya Kiev untuk menarik negara-negara Barat lebih dalam ke dalam konflik dan melegitimasi keterlibatan tersebut,” kata juru bicara Kremlin itu. “Inilah tujuan utama dari manuver-manuver ini, dan kami melihatnya demikian,” tutupnya.
Pada tanggal 31 Oktober 2024, Dewan Keamanan PBB akan mengadakan sesi khusus untuk membahas pasokan senjata Barat ke Ukraina, atas permintaan Rusia. Beberapa negara Barat telah memasok senjata ke Ukraina sejak 2014, menyusul kudeta di Kiev, dan pasokan tersebut meningkat setelah dimulainya operasi militer khusus Rusia di Ukraina pada Februari 2022.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Vyara-Lestari
Sumber : TASS