> >

Mengurai Benang Kusut Perselisihan di Prancis

Catatan jurnalis | 3 November 2020, 00:39 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan konferensi pers dengan media di depan Gereja Basilika Nice yang diserang, Kamis (29/10/2020). Tiga orang tewas dalam serangan ini. (Sumber: Associated Press)

Oleh: Yasir Nene Ama, Jurnalis Kompas TV

Belakang media sosial ramai dengan unggahan penolakan produk-produk Perancis. Unjuk rasa pun ramai dilakukan di depan kantor Kedutaan Besar Prancis. Bukan tanpa alasan, hal ini dilakukan atas respons mereka terhadap pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap mendiskreditkan umat muslim. Yuk kita bedah apa saja yang disampaikan Macron dalam pidatonya.

Tanggal 2 Oktober 2020 Presiden Macron berpidato soal ingin membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh ekstrimisme dan paham-paham terorisme. Begini isi pidatonya dalam bahasa Inggris.

"Islam is a religion which is experiencing a crisis today, all over the world, There was a need to free Islam in France from foreign influences."

(Islam dalam keadaan krisis dan di seluruh dunia ada kepentingan untuk membebaskan Islam di Prancis dari pengaruh asing dalam hal ini pengaruh-pengaruh buruk seperti radikalisme dan juga anarkis atau terorisme)

Ini Macron sampaikan karena adanya ketegangan antara fundamentalisme, proyek keagamaan yang tepat, dan politisi baik di dalam Prancis atau secara global. Prancis memang tengah merancang UU sekularisme dan kebebasan. Harapannya Prancis ingin mengurangi imam yang berlatih/mendapatkan ilmu di luar negeri (dengan maksud mengurangi pengaruh asing tadi), mengurangi homeschooling, dan mengendalikan dana keagamaan.

Dampaknya, asosiasi harus menandatangani kontrak yang menghormati "nilai-nilai republik" untuk mendapatkan subsidi. (nilai republik dalam hal sekularitas, dan kebebasan). Sebagai subsidi nanti pemerintah akan menyertainya dengan perbaikan layanan pendidikan, budaya dan olahraga.

Macron merasa saat ini nilai nilai republik sudah mulai luntur, dan ada blok-blok pemisah di kalangan kaum imigran, yang menciptakan citra bahwa mereka tidak setara dengan orang Prancis lainnya. Padahal yang diinginkan Macron adalah semua rakyatnya sama dan setara. Apapun latar belakangnya.

Beberapa hari kemudian masih di awal Oktober di sebuah sekolah menengah, seorang guru sejarah dan geografi bernama Samuel Paty (47) mengajar materi kebebasan berpendapat/berekspresi.

Karena materi sensitif bagi muslim, maka Paty mempersilakan siswa muslim untuk meninggalkan kelas. Tak dinyana ada siswa (diduga muslim) mengadukan hal ini ke orangtuanya. Orangtuanya meradang dan membuat pernyataan di media sosial (Facebook dan YouTube, yang akhirnya di-take down) dan menggalang massa untuk berdemo atas yang dilakukan Paty.

Demo berlangsung, pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat berembug beserta para orang tua siswa. Dari sini Paty mengatakan bahwa siswa pengadu, tidak ada dalam kelas. Jadi siswa yang disebutnya pengadu ini, sebetulnya tak paham apa konteks yang dia sampaikan saat itu.

Sementara Paty dituding memperlihatkan karikatur dari majalah Charlie Hebdoo tentang Nabi Muhammad SAW.

16 Oktober 2020

Mendengar hal ini, seorang imigran kelahiran Rusia beretnis Chechnya bernama Abdoulakh Anzorov (18) meradang. Ia kemudian mencari tahu Paty.

Setelah mendapat info sosok Paty (dia membayar siswa untuk menunjukkan sosok Paty) Anzorov kemudian menyerang dan menghabisi Paty dengan cara tidak manusiawi, tak jauh dari sekolah usai Paty mengajar.

Bagaimana reaksi Prancis?

Dalam upacara pemakaman Paty (21 Oktober) Macron menyebut tidak akan kalah terhadap ekstrimisme. Ia akan tetap mengedepankan nilai-nilai republik Prancis yakni kebebasan atau liberte. Sehingga kebebasan berpendapat atau berekspresi seperti karikatur tidak akan dilarang.

Hal ini lah yang memicu negara-negara Timur Tengah meradang dari kecaman sampai boikot. Mereka menitikberatkan takut terjadi lagi penodaan terhadap Islam dalam bentuk karikatur atau apapun.

Wajarkah Prancis beraksi seperti itu?

Prancis sebetulnya berniat baik, ingin siapapun dari agama apapun setara di Prancis, sembari menghormati praktik-praktik beragama mereka. Asalkan hal-hal seperti imam yang menuntut ilmu di luar Prancis dikurangi, khawatir ada penyusupan ideologi dikemudian hari. Macron merasa potensi ini sudah dan akan terus terjadi.

Prancis juga merasa kaum imigran menciptakan citra mereka sendiri. Sebagai pendatang yang kurang sejahtera di negeri itu dan membuat blok-blok sendiri di kalangan mereka.

Macron ingin semua warganya saling berbaur, apapun agama mereka. Kaum imigran muslim banyak hidup dan diterima di Prancis. Sehingga negeri Eiffel ini memiliki komunitas muslim terbanyak di Eropa yakni 5,7 Juta jiwa (termasuk penduduk asli) atau 8,8% dari populasi.

Apa respons Indonesia?

Indonesia pun ikut menyampaikan tanggapannya soal pernyataan Macron ini. Presiden Jokowi menilai, pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Nabi Muhammad dan Islam telah melukai hati umat Islam di dunia.

"Indonesia juga mengecam keras pernyataan Presiden Prancis yang menghina agama Islam yang telah melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia, yang bisa memecah belah persatuan antar umat beragama di dunia di saat dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19," ujar Jokowi saat konfrensi pers di Istana pada tanggal 31 Oktober 2020.

Jokowi melanjutkan, kebebasan berekspresi yang mencederai kehormatan, kesucian, serta kesakralan nilai-nilai dan simbol agama sama sekali tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan.

"Mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar. Terorisme adalah terorisme," tutur Jokowi.

"Teroris adalah teroris. Teroris tidak ada hubungannya dengan agama apa pun," ujar Joko Widodo.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU