> >

Ahli Pidana di Sidang Ferdy Sambo: Alat Doenpleger Tidak Bisa Diminta Pertanggungjawaban Pidana

Hukum | 21 Desember 2022, 21:29 WIB
Terdakwa Richard Eliezer atau Bharada E memberikan salam ke arah wartawan. (Sumber: ADRYAN YOGA PARAMADWYA)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Ahli Pidana Effendi Saragih mengatakan manusia yang disuruh doenpleger untuk melakukan tindak pidana tidak dapat diminta pertanggungjawaban.

Pernyataan itu disampaikan Ahli Pidana Effendi Saragih saat penasihat hukum Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ronny Talapessy meminta penjelasan soal unsur-unsur pada doenpleger.

“Saya membaca BAP dari Pak Effendi yang menjelaskan terkait dengan syarat-syarat doenpleger, bisa saudara ahli jelaskan syarat-syarat doenpleger?” tanya Ronny Talapessy dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat, Rabu (21/12/2022).

Effendi Saragih pun mengatakan, doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain. Dalam tindak pidana, perantara itu adalah manusia yang digunakan sebagai alat.

Baca Juga: Ahli: Putri Candrawathi Alami Kekerasan Seksual adalah Keterangan yang Kredibel

“Namanya doenpleger itu adalah dalam arti menyuruh melakukan tindak pidana. Syarat-syaratnya itu adalah bahwa yang disuruh tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban,” ucap Effendi.

“Dan yang disuruh itu hanya merupakan sebagai alat dan tentu saja alat itu dalam bentuk orang, dan orang itulah yang melakukan perbuatan itu sendiri,” tambahnya.

Lebih lanjut, Ronny Talapessy juga menggali soal penghapusan pidana terkait Pasal 48 (Perbuatannya dilakukan karena adanya paksaan) kepada Ahli Pidana Alpi Sahari.

Menurut Alpi Sahari, dalam KUHP memang mengenal penghapusan pidana terkait adanya daya paksa dan kemampuan bertanggung jawab.

“Jadi di dalam hukum pidana itu, kalau tadi ada aliran dualistis itu, yang kita faktakan apa? Unsur obyektif dan unsur subyektif,” ujarnya.

Baca Juga: Dua Ahli Pidana Kasus Ferdy Sambo Cs Sebut Hasil Poligraf Bisa Jadi Alat Bukti Petunjuk

“Kemudian dalam hukum pidana kita mengenal apa yang dinamakan untuk menghilangkan sifat dari melawan hukum dan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana itu sendiri. Inilah yang dikualifikasi sebagai alasan pemaaf dan pembenar,” tambah Alpi Sahari.

Untuk kualifikasi pemaaf dan pembenar, sambung Alpi, dalam hukum pidana juga mengenal asas profesionalitas, kewajaran, kepatutan, dan ada asas subsidaritas.

“Itu patokannya, jadi tidak bisa kita jadikan oh ini alasan pembenar, tapi ada kualifikasi apakah perbuatan itu masuk sebagai prinsip subsidaritas, harus melakukan itu, tidak ada melakukan perbuatan lain, tidak ada tindakan lain,” ujarnya.

“Contoh, dalam keadaan misalnya daya paksa, dia harus melakukan perbuatan itu, nah kemudian adanya juga karena adanya faktor dari perbuatan itu, ada misalnya keadaan diri sendiri dan juga keadaan yang datang dari luar,” tambah Alpi Sahari.

Baca Juga: Ahli Psikologi Forensik: Ferdy Sambo Punya Potensi Melakukan Tindak Pidana jika Terkait Harga Diri

 

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU