Darurat Kekerasan Seksual di Palangka Raya, Terbaru Libatkan Guru Agama dan Ayah Kandung
Kriminal | 30 Juni 2022, 11:50 WIBPALANGKA RAYA, KOMPAS.TV – Polda Kalimantan Tengah mengungkapkan, sejak tahun 2022 Provinsi Kalteng masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual menyusul tingginya angka kasus tersebut. Pelakunya, sebagian besar bahkan merupakan orang-orang dekat para korban.
Polda Kalteng pun mencatat, setidaknya terdapat 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kalteng pada tahun 2020. Jumlah itu meningkat di tahun 2021.
Sub Direktorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat tahun 2021 jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani mencapai 85 kasus dan 22 kasus kekerasan fisik.
Belakangan bertambah dua kasus lagi kekerasan seksual yang melibatkan guru ngaji dan ayah kandung.
Melansir dari Kompas.id, Kamis (30/6/2022) aparat Polres Kota Palangkaraya menangkap M (38), warga Kota Palangkaraya atas dugaan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya.
Diketahui, M (38) sudah empat kali menikah dan semuanya gagal dengan akhir yang sama yakni dituntut cerai istrinya. Pernikahannya yang terakhir berakhir pada akhir 2021.
M setiap hari bekerja serabutan dan hanya tinggal bersama anak perempuannya yang berumur 14 tahun, anak kandung dari istri pertamanya. Belum setahun menduda, pelaku menyetubuhi anaknya itu.
Baca Juga: Puan: Pemerintah Jangan Terlalu Lama Buat Aturan Turunan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
“Pelaku awalnya meminta korban untuk memijat. Di saat korban sedang memijat itu pelaku melancarkan aksi bejatnya,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Palangkaraya Komisaris Ronny M Nababan.
Semua aksi bejatnya dilakukan di rumahnya sendiri. Polisi menangkap M, setelah keluarga dan tetangga rumah M melaporkan perbuatannya itu. Ia meniduri putrinya setidaknya 10 kali sejak akhir tahun 2021.
“Pengakuan korban, ia disetubuhi pelaku bukan satu dua kali tetapi 10 kali. Niat itu muncul saat mereka berdua saja di rumah,” kata Ronny.
Kini, pelaku telah ditahan di Kantor Polres Kota Palangkaraya untuk menjalani proses hukum selanjutnya. Polisi juga melakukan penyidikan mendalam dalam kasus tersebut.
Adapun pelaku dijerat Undang-undang Perlindungan anak dengan ancaman 15 tahun penjara ditambah sepertiga hukuman karena pelaku merupakan orang tua kandung.
Guru Ngaji
Tiga hari setelahnya, seorang guru ngaji di Kota Palangka Raya berinisila H (30) ditangkap pada Senin (27/6/2022) oleh aparat Polres Kota Palangkaraya atas kasus pencabulan muridnya.
Penangkapan dilakukan polisi setelah menerima laporan warga dan keluarga korban. Ronny menyebutkan, pelaku mencabuli korban yang berumur 16 tahun. Kejadian terjadi tahun 2020.
Peristiwa itu bermula saat korban mengikuti pelajaran agama di salah satu tempat ibadah, tempat H mengajar. Saat belajar, H mendekati korban dan menyentuh bagian-bagian vital korban. Pelaku juga mengarahkan tangan korban menyentuh bagian tubuhnya.
“Saat diperiksa, tersangka mengaku melakukan hal itu karena sering menonton film porno,” kata Ronny dalam keterangannya pada Rabu (29/6/2022).
Kasus itu baru terungkap saat ini karena korban takut dan malu untuk melaporkan kejadian itu, bahkan kepada keluarga. Namun, setelah hampir dua tahun memendam trauma, korban akhirnya bicara dan pelaku ditangkap.
Kini, tersangka telah ditahan di Polres Kota Palangkaraya untuk penyidikan lebih lanjut. Dalam pemeriksaan pelaku sudah mengakui perbuatannya itu.
Pelaku dikenakan Pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
“Jadi karena terduga pelaku sebagai tenaga pendidik, jadi hukumannya ditambah sepertiga dari umur terduga pelaku,” kata Ronny.
Rumah aman
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, pada kasus guru, korban yang merupakan anak muridnya mengalami trauma mendalam sampai tidak mampu melaporkan kejadian itu. Begitu juga korban pada kasus ayah kandung.
Menurutnya, dalam penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan proses hukum. Perlu ada upaya juga untuk mendampingi korban. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan rumah aman dengan fasilitas dan pelayanan kesehatan fisik dan mental bagi para korban
“Rumah aman itu penting sekali, sayangnya di Kalteng ini hanya ada di Palangkaraya. Kami khawatir korban menjadi sosok yang brutal di masa depannya jika tidak ditangani serius psikologinya,” tutur Winda.
Baca Juga: Orang Tua, Lakukan Hal Ini agar Anak Terhindar dari Pelecehan Seksual
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas.id