Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Daerah Penghasil Energi Hijau Minta Ada Bagi Hasil dari Pusat, Jangan Takut Stok Migas Habis

Kompas.tv - 10 Juni 2022, 10:56 WIB
daerah-penghasil-energi-hijau-minta-ada-bagi-hasil-dari-pusat-jangan-takut-stok-migas-habis
Ilustrasi - Daerah- daerah penghasil energi terbarukan ingin agar pemerintah bisa bagi hasil. (Sumber: Dok. Pertamina)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Iman Firdaus

MANADO, KOMPAS.TV – Daerah- daerah penghasil minyak, gas, dan energi terbarukan ingin agar pemerintah bisa membuat mekanisme pembagian pemasukan negara secara adil.

Sekretaris Daerah Sulut Praseno Hadi dalam hal ini menyayangkan ketiadaan bagi hasil pendapatan negara dari sumber energi terbarukan layaknya migas.

“Sulut sementara ini hanya dapat dari PLTP Lahendong. (Pajak) Disetor ke pusat, tetapi belum ada aturan perundang-undangan yang memayungi bagi hasil,” ujarnya dalam rapat kerja (raker) Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET), di Manado, Sulawesi Utara pada Kamis (9/6/2022) kemarin, dikutip dari Kompas.id.

Diketahui, meski Sulut bukan penghasil migas, tetapi sudah mampu memenuhi kebutuhan energinya dari sumber baru terbarukan dalam jumlah besar. Bahkan, telah melampaui target nasional dalam bauran energi baru terbarukan untuk listrik.

“Target nasional 23 persen pada 2025, kami sudah 37,19 persen,” kata Praseno merujuk, salah satunya pada kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong yang mencapai 120 megawatt (MW).

Ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang 15 MW serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsealama, Tanggari I, dan Tanggari II yang total daya maksimalnya mencapai 51,38 MW.

Pembangkit-pembangkit tersebut berkontribusi pada surplus energi listrik sekitar 200 MW.

Baca Juga: Sejumlah Pihak Pertanyakan Energi Fosil dan Nuklir Masuk RUU Energi Baru dan Terbarukan

Gubernur Aceh Nova Iriansyah pun mengungkapkan, bagi hasil pendapatan negara dari sektor energi terbarukan sudah mendesak, karena posisinya tidak lebih rendah ketimbang migas yang merupakan energi fosil.

Pemerintah daerah pun perlu terus mewacanakan kepentingan ini kepada pemerintah pusat dan perusahaan yang mengelola sumber energi di wilayahnya.

Karena itu, ia juga mendorong para pemerintah daerah untuk menggali potensi dan bertransisi menuju pemanfaatan energi terbarukan demi mengurangi emisi karbon.

“Ini harus menjadi obsesi dan cita-cita luhur pemerintah anggota ADPMET. Jadi, tidak perlu takut kalau stok migas mau habis,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Berbeda dengan di Sulut, Aceh memang telah memiliki kedaulatan akan pengelolaan energi.  Di Blok B yang terletak di Aceh Utara misalnya, kini telah dikelola sendiri oleh daerah melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).

Aceh mampu mencapai kemandirian pengelolaan energi karena adanya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

“Dalam konteks energi, daerah memang tidak bisa menjadi subordinat dari Jakarta. Saya yakin, di daerah lain pasti ada skema yang bisa menjadi siasat untuk menghasilkan kedaulatan energi bagi daerah,” ungkapnya.

Perubahan iklim

Pada intinya, pemerintah daerah pun sepakat untuk mengupayakan transisi menuju energi hijau demi mengatasi perubahan iklim.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menjelaskan, daerah adalah ujung tombak dalam pencapaian zero net emission, yaitu kondisi di mana emisi karbon yang dilepas ke atmosfer tidak melebihi jumlah yang bisa diserap bumi.

Jika daerah tak berbenah, bencana iklim tak dapat dicegah.

Selama 1981-2018, disebutkan Masyita, kenaikan suhu rata-rata di Indonesia mencapai 0,03 derajat Celsius setiap tahun. Permukaan air laut pun naik 0,8-1,2 sentimeter per tahun.

Keadaan tersebut akan membahayakan 65 persen penduduk Indonesia yang tinggal di pesisir.

Perubahan iklim ini nyata, bahkan bisa meningkatkan risiko hidrometeorologi yang membentuk 80 persen dari total bencana di Indonesia.

“Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, total kerugian kita bisa mencapai Rp 544 triliun antara 2020-2024 akibat perubahan iklim kalau tidak diintervensi,” tuturnya.

Sebagai informasi, dalam rapat ini dihadiri 103 orang perwakilan dari sekitar 30 daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi. Saat ini, ADPMET beranggotakan 88 daerah. Namun, ada juga daerah-daerah calon anggota, seperti Sulut yang menjadi tuan rumah.




Sumber : Kompas TV/Kompas.id


BERITA LAINNYA



Close Ads x