Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Ancaman Resesi Global 2023, Ekonom: Tetap Konsumsi dan Belanja Seperti Biasa

Kompas.tv - 7 Oktober 2022, 13:06 WIB
ancaman-resesi-global-2023-ekonom-tetap-konsumsi-dan-belanja-seperti-biasa
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebut negara-negata akan masuk dalam jurang resesi ekonomi pada tahun 2023. Namun Indonesia tidak akan terlalu terdampak. (Sumber: Kompas.tv/Ant)
Penulis : Dina Karina | Editor : Desy Afrianti

Baca Juga: Jokowi: Perang Rusia-Ukraina akan Lama, 19.600 Orang Mati Kelaparan Setiap Hari

Kemudian untuk inflasi tahun kalender, yakni September 2022 dibanding Desember 2021 tercatat sebesar 4,84 persen.

"Jika ada kenaikan harga, yang paling terdampak itu memang masyarakat golongan bawah. Tapi tingkat konsumsi yang dihitung itu bukan dari belanja tempe, melainkan dari belanja barang-barang yang mahal dan mewah. Itu perhitungan BPS," jelas Piter.

"Jadi bukan ditentukan oleh konsumsi tempe, tapi konsumsi barang mewah," ujarnya.

Ia kemudian mencontohkan, saat pandemi tingkat konsumsi Indonesia negatif. Indonesia juga pernah mengalami resesi teknikal pada tahun 2020, yaitu saat pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan kuartal III negatif berturut-turut.

"Padahal saat itu kita tetap makan kan, tetap beli tempe dan tahu kan. Nah kenapa konsumsi disebut negatif? Karena kelompok menengah atas tidak belanja, tidak liburan," sebutnya.

Baca Juga: Beda dari Resesi Ekonomi, RI Pernah Alami Krisis Ekonomi Parah pada 1998

Piter tidak memungkiri memang ada pelemahan di sektor properti. Namun menurutnya itu pelemahan sektoral, karena sektor properti sudah melemah sejak pandemi melanda.
"Orang beli apartemen itu rata-rata buat investasi, buat di sewain. Lah kalau masyarakat nya pas pandemi tidak bekerja dari kantor, siapa yang mau tinggal di apartemen?" katanya.

Piter mengatakan, bukan hanya tahun ini dan tahun depan ada resesi global. Pada 2008 Amerika krisis keuangan, 2011-2012 giliran Eropa yang krisis, namun nyatanya Indonesia tidak terdampak saat itu.

Apalagi selama pandemi kemarin, ekonomi Indonesia berhasil bertahan dan tidak seburuk negara lainnya. Sehingga saat perang Rusia-Ukraina terjadi dengan segala dampaknya, Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi seperti Sri Lanka dan Inggris.

Sebelumnya, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menjelaskan, pola pemulihan ekonomi Indonesia juga berbeda dengan negara lainnya. Amerika Serikat misalnya.

Baca Juga: Krisis Inggris Memilukan, Anak Sekolah Pura-Pura Makan dari Kotak Kosong Karena Tak Mampu Beli Bekal

Sehingga walaupun ada kenaikan suku bunga acuan yang berdampak pada naiknya bunga kredit bank, orang tetap mencari pinjaman ke bank.

Eko menyatakan ekonomi Indonesia saat ini tengah mendapat momentum untuk tumbuh. Penyebab utamanya adalah peralihan pandemi Covid-19 menjadi endemi. Sehingga aktivitas ekonomi di seluruh wilayah dan sektor kian bergeliat.

Hal itu juga terlihat dari penyaluran kredit perbankan yang masih tumbuh di atas 10 persen.

"Orang usaha itu, nyari modal, faktor utamanya bukan bunganya tinggi terus dia enggak jadi pinjam. Buat mereka enggak apa-apa bunga tinggi yang penting ekonomi jalan," kata Eko saat dihubungi Kompas TV beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Bujet Bulanan Menipis karena Harga-harga Naik, Ini Daftar Investasi dengan Modal Kecil

Jika ekonomi bergerak, pengusaha akan dapat pemasukan banyak untuk menjalankan bisnisnya, membayar cicilan ke bank, namun tetap mendapat keuntungan.

Ia menambahkan, tingkat inflasi di Indonesia juga tidak setinggi di Amerika Serikat yang lebih dari 8 persen.

"Selama para pencari kredit masih banyak, dampak kenaikan suku bunga acuan tidak akan terlalu terasa," ujarnya.




Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x