Kompas TV ekonomi ekonomi dan bisnis

BPJS Watch Sebut Pasien Bisa Sulit Dapat Kamar saat KRIS Berlaku, Ada Oknum RS yang Membatasi

Kompas.tv - 22 Mei 2024, 14:38 WIB
bpjs-watch-sebut-pasien-bisa-sulit-dapat-kamar-saat-kris-berlaku-ada-oknum-rs-yang-membatasi
Foto Ilustrasi. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir masyarakat akan semakin susah mengakses kamar rawat inap, saat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diterapkan. Pasalnya, rumah sakit harus menyediakan kamar rawat inap maksimal berisi 4 tempat tidur. (Sumber: rs.ui.ac.id)
Penulis : Dina Karina | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir masyarakat akan semakin susah mengakses kamar rawat inap, saat Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) diterapkan. Pasalnya, rumah sakit harus menyediakan kamar rawat inap maksimal berisi 4 tempat tidur. Hal itu diatur dalam Perpres 59/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Kemudian, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2021 ada ketentuan prosentase tempat tidur yang harus disediakan rumah sakit untuk KRIS. Yaitu 40 persen untuk BPJS Kesehatan dan 60 persen untuk umum, serta 60 persen untuk BPJS Kesehatan dan 40 persen untuk umum di rumah sakit pemerintah.

Sementara saat ini, seluruh kamar yang dimiliki RS bisa diakses pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sesuai kelas kepesertaannya. Tapi dengan kondisi itu, masih ada pasien yang sulit mendapat kamar.

“Persoalannya bagaimana peserta bisa mengakses lebih mudah (dapat kamar). Sekarang saja ada oknum rumah sakit yang masih membatasi peserta JKN. Kamarnya kosong dibilang penuh, kan peserta enggak tahu apa betul penuh sehingga dia harus cari sendiri,” kata Timboel saat berdialog dengan presenter Kompas TV Mysister Tarigan di program BTalk, Selasa (21/5/2024).  

Baca Juga: Baru 30 Persen RS Swasta yang Siap Terapkan KRIS, Asosiasi: Kami Senang kalau Ada Insentif

Apalagi, lanjut Timboel, jika nanti kamar untuk peserta JKN ditetapkan 40 persen dan 60 persen. Jika kuota itu terpenuhi, maka RS tak bisa menyediakan kamar untuk peserta JKN lagi karena yang tersisa hanya kamar untuk umum. Pasien akan terpaksa memilih rawat inap dengan biaya sendiri atau mencari rumah sakit yang lain.

“Alasannya, karena pasien JKN itu dibayar pakai INA-CBG’s yang pasti lebih rendah dari fee for service. Dan pasien BPJS itu, kalau dia pulang baru diklaim. Nah kalau pasien umum, dengan fee for service, dia pulang uang cash masuk,” lanjutnya.

Sebagai informasi, Indonesia Case Based Groups atau INA-CBG’s standar tarif untuk pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional. Tarifnya tentu berbeda dengan tarif pasien umum atau asuransi swasta.

“Dengan PP 47/2021 itu membatasinya terlegitimasi oleh regulasi. Bisa saja pihak rumah sakit bilang “Kan dari 100 bed kami disyaratkan 40 persen, boleh dong kami kasih 50 persen dan yang sisa 50 persen lagi kami kasih ke umum,” tutur Timboel.

Baca Juga: Siap-Siap, Taspen Salurkan Gaji ke-13 Pensiunan PNS, TNI, Polri Mulai 3 Juni

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi menyatakan, saat ini baru sekitar 30 persen rumah sakit swasta yang siap mengikuti program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan. Lantaran kondisi keuangan tiap RS swasta berbeda-beda.

Ia menyampaikan, rumah sakit harus mengeluarkan dana tambahan agar bisa memenuhi 12 kriteria KRIS. Mulai dari tiap kamar maksimal diisi 4 tempat tidur, kamar mandi dalam, menjaga suhu ruangan maksimal 26 derajat, hingga menyediakan outlet oksigen di tiap tempat tidur.

“Ada 30 persen rumah sakit yang sudah siap mengikuti KRIS ini,” ucapnya.

RS swasta juga harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Dimana RS swasta harus menyediakan 40 persen dari jumlah kamarnya untuk layanan BPJS Kesehatan dan sisanya untuk umum.

Baca Juga: Tesla Belum juga Investasi di Indonesia, Luhut Ungkap Ini Penyebabnya

Ichsan menuturkan, jumlah investasi yang harus dikeluarkan RS swasta berbeda-beda, karena perbedaan struktur bangunan tiap RS.

“Untuk rumah sakit yang tadinya kelas 3 itu satu kamar ada 6 tempat tidur. Lalu saat KRIS berlaku maksimal hanya boleh 4 tempat tidur. Lalu kamar mandi di dalam, harus dingin. Itu tentu sangat mempengaruhi,” ujarnya.

Menurutnya, semangat pemerintah untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat dengan menstandarkan fasilitas rawat inap sebenarnya bagus. Namun banyak RS swasta yang kesulitan untuk memenuhinnya. Karena selama ini tidak ada insentif yang diberikan seperti untuk investasi tanah dan bangunan rumah sakit.

Ia menyambut baik jika pemerintah memberikan insentif kepada RS swasta agar bisa memberikan layanan KRIS kepada masyarakat. Apalagi jika pemerintah memberikan fasilitas kredit tanpa bunga.

Baca Juga: Ini Perbedaan KRIS dan BPJS Kesehatan Kelas 1, 2, 3, Kini Jadi 12 Kriteria Layanan

“Sebetulnya tarif BPJS Kesehatan antara RS pemerintah dengan RS swasta itu hanya selisih 3 persen. Tapi kita di swasta enggak ada insentif investasi tanah, investasi bangunan tidak ada. Kami murni dari swasta,” jelas Ichsan.

“Kalau ada usulan ke depan kita dapat kredit tanpa bunga misalnya, kita dengan senang hati, agar kita bisa meningkatkan layanan dan fasilitas,” tambahnya.


 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x