JAKARTA, KOMPAS.TV - Keputusan Presiden Prabowo Subianto melalukan pemangkasan anggaran besar-besaran dinilai sebagai langkah yang tepat. Namun, perlu perbaikan pada fokus anggaran program apa yang harus dipotong.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini, dalam acara diskusi dan peresmian "Ruang Baca Faisal Basri", di kantor INDEF di Jakarta, Jumat (7/2/2025).
Didik menerangkan, selama hidupnya, almarhum Faisal Basri yang juga merupakan pendiri INDEF kerap mengkritik pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Faisal menilai APBN bermasalah dari segi pemasukan dan pengeluaran.
"Sehingga kebijakan pemotongan anggaran saat ini sudah tepat, tapi tidak tepat pada obyek anggaran yang dipotong. Seharusnya dicari pengeluaran yang benar-benar tidak efisien, itu yang dipotong," kata Didik dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.tv.
Baca Juga: Anggaran Kemensos Dipangkas Rp1,3 T, Mensos Gus Ipul Pastikan Dana Bansos Aman
Didik menuturkan, Faisal memberi gambaran pembangunan di era Presiden Soeharto yang berhasil melakukan pembangunan dengan masif meski anggarannya hanya Rp30 triliun.
"Zaman Pak Harto, meski anggaran hanya Rp30 triliun tapi berhasil membangun macam-macam pasar tradisional, swasembada pangan, Puskesmas, SD Inpres, jalan-jalan yang meskipun hanya beralas kerikil tapi di mana-mana jalan dibangun (revolusi colt-mitsubishi). Sekarang, 3.600 T tidak cukup," tutur Didik.
Mendiang Faisal Basri memang sering melontarkan kritik tak hanya soal ekonomi, tapi juga politik. Faisal memandang substansi dari ekonomi adalah politik.
"Jadi catatan pertama Faisal Basri adalah soal politik," ucap Didik.
Baca Juga: Ekonom INDEF Sebut Faisal Basri Meninggal Akibat Serangan Jantung
Faisal berpendapat, pemerintah tidak mungkin menghasilkan kebijakan yang berorientasi kepada pemerataan, keberpihakan kepada rakyat. Ia menilai pemerataan dan kerakyatan hanya menjadi jargon.
Dalam acara yang bertajuk Merekam Gagasan Faisal Basri itu, pendiri INDEF lainnya, Didin S Damanhuri mengatakan dirinya pertama kali bertemu dengan Faisal di ruangan Dipo Alam pada tahun 1995.
Saat itu, Dipo menjabat sebagai Deputi Menko Perekonomian dan Faisal Basri baru saja pulang dari Amerika Serikat.
Di mata Didin, kelebihan Faisal Basri sebagai ekonom senior yang tidak dimiliki oleh ekonom Indonesia lainnya adalah soal keberaniannya.
Baca Juga: Dewan Ekonomi Rekomendasi ke Prabowo soal Kebijakan Donald Trump, Bisa Dimanfaatkan Indonesia
Namun, tajamnya kritik Faisal juga didukung oleh latar belakang teori dan data yang sangat kuat.
"Sejak itu kritisisme Faisal Basri bersama INDEF tidak pernah henti untuk mengkritik sangat tajam segala kebijakan ekonomi yang dianggap menyimpang di era Soeharto, Habibie, Megawati sampai era Jokowi," kata Didin.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.