Kompas TV internasional kompas dunia

Tujuh Tahun Terakhir Bumi Alami Suhu Terpanas Sejak Pencatatan Suhu Bumi Dimulai

Kompas.tv - 10 Januari 2022, 22:08 WIB
tujuh-tahun-terakhir-bumi-alami-suhu-terpanas-sejak-pencatatan-suhu-bumi-dimulai
Dalam foto di sebelah kiri tampak seorang pria menyaksikan kebakaran hutan mendekati pantai Kochyli di pulau Evia, Yunani. Foto di sebelah kanan memperlihatkan retakan di lapisan es Larsen C di Semenanjung Antartika yang diamati NASA. Layanan pemantauan perubahan iklim Eropa, Senin (10/1/2022), melaporkan, tujuh tahun terakhir menjadi rekor terpanas secara global "dengan (selisih) margin yang jelas." (Sumber: AP Photo/Thodoris Nikolaou; John Sonntag/NASA via AP)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Edy A. Putra

PARIS, KOMPAS.TV - Layanan pemantauan perubahan iklim Eropa, Senin (10/1/2022), melaporkan, tujuh tahun terakhir menjadi rekor terpanas secara global "dengan (selisih) margin yang jelas" seperti dilansir France24.

Selain itu, peringatan tanda bahaya dunia berbunyi atas peningkatan tajam dalam rekor konsentrasi metana di atmosfer.

Negara-negara di seluruh dunia beberapa tahun terakhir dihajar bencana cuaca yang bersumber dari pemanasan global, termasuk rekor kebakaran hutan di seluruh Australia dan Siberia, gelombang panas sekali dalam 1000 tahun di Amerika Utara, dan curah hujan ekstrem yang menyebabkan banjir di Asia, Afrika, Amerika Serikat dan Eropa.

Dalam penilaian tahunan terbarunya, Copernicus Climate Change Service (C3S) memastikan tahun 2021 masuk ke dalam rangkaian yang tak terputus sejak 2015.

Laporan C3S juga menemukan, tahun lalu adalah rekor terpanas kelima secara global, sedikit lebih hangat dari tahun 2015 dan 2018.

Pengukuran yang akurat tentang suhu bumi dimulai pada pertengahan abad ke-19.

Suhu rata-rata tahunan adalah 1,1 hingga 1,2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, diukur antara tahun 1850 dan 1900, kata C3S.

Penghitungan tersebut terlepas dari efek pendinginan dari fenomena cuaca alami La Nina.

Secara keseluruhan, layanan pemantauan menemukan tujuh tahun terakhir "menjadi tahun terpanas dalam catatan dengan margin yang jelas".

"Tahun 2021 adalah tahun suhu ekstrem dengan musim panas terpanas di Eropa, gelombang panas di Mediterania, belum lagi suhu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Amerika Utara," kata Direktur C3S Carlo Buontempo.

"Peristiwa ini adalah pengingat akan kebutuhan untuk mengubah cara kita, serta mengambil langkah tegas dan efektif menuju masyarakat yang berkelanjutan dan bekerja untuk mengurangi emisi karbon bersih."

Baca Juga: KTT Iklim PBB COP26: Lebih 100 Negara Termasuk Indonesia, Bergabung Pada Pakta Pemotongan Gas Metana

Ilustrasi. Layanan pemantauan perubahan iklim Eropa, C3S, Senin (10/1/2022), melaporkan, tujuh tahun terakhir menjadi rekor terpanas secara global "dengan (selisih) margin yang jelas." (Sumber: SHUTTERSTOCK/aapsky)

Gelombang metana

C3S juga memantau konsentrasi atmosfer dari gas pemanasan bumi, yaitu karbon dioksida dan metana. Mereka menemukan kedua unsur tersebut meningkat tanpa tanda-tanda perlambatan.

Metana khususnya melonjak "sangat substansial", ke rekor tahunan sekitar 1.876 bagian per miliar (ppb).

Tingkat pertumbuhan tahun 2020 dan 2021 masing-masing adalah 14,6 ppb per tahun untuk karbon dioksida dan 16,3 ppb per tahun untuk metana.

Itu lebih dari dua kali lipat tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata yang terlihat selama 17 tahun sebelumnya.

Tetapi serangkaian sumber yang disebabkan oleh manusia dan alami membuat sulit untuk menentukan mengapa ada peningkatan yang begitu kuat dalam beberapa tahun terakhir, kata C3S.

Metana (CH4) merupakan gas yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global setelah karbon dioksida (CO2). Meskipun berumur pendek di atmosfer, ia berkali-kali lebih kuat daripada CO2.

Sumber alami meliputi lahan basah, sedangkan sumber ulah manusia adalah kebocoran dari gas alam dan produksi minyak, penambangan batu bara dan tempat pembuangan sampah, serta sawah, peternakan, dan penanganan kotoran.

Vincent-Henri Peuch, direktur Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus, yang melacak peningkatan gas rumah kaca, mengatakan, bukti pengamatan sangat penting dalam upaya menghindari "bencana iklim".

Baca Juga: Miris, Ini Bedanya Bila Suhu Bumi Naik 1,5 Derajat dan Naik 2 Derajat Celcius dalam Pemanasan Global

Ilustrasi. Layanan pemantauan perubahan iklim Eropa, C3S, Senin (10/1/2022), melaporkan, tujuh tahun terakhir menjadi rekor terpanas secara global "dengan (selisih) margin yang jelas." (Sumber: thefanatic)

Mengurangi jumlah metana yang merembes ke udara bisa dengan cepat diterjemahkan ke dalam perlambatan kenaikan suhu, dan membantu menutup apa yang disebut kesenjangan emisi antara target Perjanjian Paris dari batas 1,5C pada pemanasan dan 2,7C yang kita tuju, bahkan jika semua negara menghormati janji pengurangan karbon mereka.

Itu mendorong minat dari pembuat kebijakan yang ingin menemukan cara tercepat untuk menurunkan emisi.

Pada KTT iklim COP26 tahun lalu, sekitar seratus negara bergabung dengan inisiatif untuk mengurangi emisi metana setidaknya 30 persen pada dekade ini. Salah satu yang tidak ikut adalah China.

Industri minyak dan gas memiliki potensi terbesar untuk pengurangan cepat dari dua unsur tersebut, terutama melalui deteksi dan perbaikan kebocoran gas selama produksi dan transportasi.

Sementara pemanasan global mungkin tampak bertahap, dampaknya pada peristiwa ekstrem adalah "dramatis", kata Rowan Sutton dari Pusat Sains Atmosfer Nasional Inggris di Universitas Reading.

"Kita harus melihat peristiwa tahun 2021 yang memecahkan rekor, seperti gelombang panas di Kanada dan banjir di Jerman, sebagai pukulan di wajah untuk membuat politisi dan publik sama-sama sadar akan urgensi darurat iklim," katanya kepada Science Media Center.

"Selain itu, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang terus berlanjut menunjukkan penyebab yang mendasarinya belum ditangani."




Sumber : Kompas TV/France24


BERITA LAINNYA



Close Ads x