Kompas TV internasional kompas dunia

Pemerintahan Baru Palestina di Tepi Barat dan Dampaknya pada Perang di Gaza menurut Media Barat

Kompas.tv - 28 Februari 2024, 05:45 WIB
pemerintahan-baru-palestina-di-tepi-barat-dan-dampaknya-pada-perang-di-gaza-menurut-media-barat
Perdana Menteri Otoritas Palestina mengumumkan mundur hari Senin, (27/2/2024), dianggap sebagai langkah pertama dalam proses reformasi yang didorong oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari rencana ambisius terbarunya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. (Sumber: Foreign Policy)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Vyara Lestari

RAMALLAH, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Otoritas Palestina mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin (26/2/2024). Ini dianggap sebagai langkah pertama dalam proses reformasi yang didorong oleh Amerika Serikat (AS) sebagai bagian dari rencana ambisius terbarunya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

Namun, langkah ini dipandang media Barat hanya sedikit membantu mengatasi kurangnya legitimasi yang telah berlangsung lama di antara rakyat Palestina sendiri atau hubungannya yang tegang dengan Israel.

Kedua hal tersebut menjadi hambatan besar bagi rencana AS yang meminta Otoritas Palestina, yang mengelola sebagian dari Tepi Barat yang diduduki Israel, untuk mengurus Gaza pascaperang sebagai langkah menuju kemerdekaan Palestina.

Hal itu diasumsikan bahwa perang di Gaza berakhir dengan kekalahan kelompok perlawanan Hamas, yang merupakan tujuan Israel dan AS. Namun, tujuan ini tampaknya sulit dicapai setelah hampir lima bulan sejak awal perang yang mematikan itu, menewaskan hampir 30.000 warga Palestina dan mendorong wilayah tersebut ke ambang kelaparan.

Berikut adalah gambaran tentang perombakan pemerintahan dan dampaknya pada perang Israel-Hamas seperti laporan media Barat, Associated Press, Selasa (27/2/2024).

Baca Juga: PM Palestina Mundur, Calon Penggantinya Ekonom Didikan AS dan Pernah Kerja di Bank Dunia

Presiden Joko Widodo bertemu dengan PM Palestina Mohammad Ibrahim Shtayyeh di sela-sela KTT Perubahan Iklim PBB, di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021). (Sumber: Sekretariat Presiden.)

Otoritas Palestina

Otoritas Palestina dibentuk awal tahun 1990-an melalui perjanjian perdamaian sementara yang ditandatangani antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina PLO, yang saat itu dipimpin oleh Yasser Arafat.

Mereka diberikan otonomi terbatas di sebagian Tepi Barat dan Gaza, menjelang harapan Palestina akan merdeka sepenuhnya di kedua wilayah tersebut serta Yerusalem Timur, tanah yang diduduki Israel dalam Perang Timur Tengah tahun 1967.

Namun, pihak-pihak tersebut gagal mencapai kesepakatan final dalam beberapa putaran perundingan perdamaian. Mahmoud Abbas terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina pada tahun 2005, beberapa bulan setelah kematian Arafat. Hamas meraih kemenangan besar dalam pemilihan parlemen tahun berikutnya, memicu boikot internasional terhadap Otoritas Palestina.

Perebutan kekuasaan antara partai sekuler Fatah Abbas dan Hamas memuncak pada musim panas tahun 2007, dengan Hamas merebut kekuasaan di Gaza setelah seminggu pertempuran jalanan. Hal itu efektif membatasi otoritas Abbas hanya pada sebagian Tepi Barat yang diduduki Israel.

Abbas mengakui Israel, menentang perlawanan bersenjata, dan berkomitmen pada solusi dua negara. Pasukannya telah bekerja sama dengan militer Israel untuk menindak tegas Hamas dan kelompok bersenjata lainnya, dan pemerintahannya telah bekerja sama dengan Israel untuk memfasilitasi izin kerja, perjalanan medis, dan urusan sipil lainnya.

Makna Pengunduran Diri Perdana Menteri Palestina

Dalam pengumuman pengunduran dirinya, Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh menyatakan bahwa perlu pengaturan baru untuk mengatasi "realitas baru di Jalur Gaza".

Abbas menerima pengunduran diri Shtayyeh dan dilaporkan akan menggantikannya dengan Mohammad Mustafa, seorang ekonom yang berpendidikan di AS, pernah menjabat posisi tinggi di Bank Dunia dan saat ini memimpin Dana Investasi Palestina. Ia adalah wakil perdana menteri dan menteri ekonomi dari tahun 2013-2015.

Sebagai independen politik dan bukan loyalis Fatah seperti Shtayyeh, penunjukan Mustafa kemungkinan akan disambut baik oleh AS, Israel, dan negara-negara lainnya.

Mustafa tidak memiliki basis politik sendiri, dan Abbas yang berusia 88 tahun masih memiliki pengaruh terakhir pada kebijakan utama. Namun, penunjukan tersebut akan menyampaikan citra Otoritas Palestina yang direformasi dan profesional yang dapat mengelola Gaza, yang mana penting bagi AS.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengatakan keputusan pemimpin Palestina ada di tangan mereka, namun AS menyambut langkah-langkah untuk "mereformasi dan memberdayakan" Otoritas Palestina atau PA.




Sumber : Associated Press


BERITA LAINNYA



Close Ads x