Kompas TV kolom opini

Reshuffle

Kompas.tv - 16 Juni 2022, 12:40 WIB
reshuffle
Presiden Joko Widodo seusai melantik Menteri dan Wakil Menteri untuk Kabinet Indonesia Maju Sisa Masa Jabatan Periode Tahun 2022-2024. (Sumber: Tangkapan Layar Youtube Setpres/ninuk)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

“Tempus fugit”…waktu terus berjalan. Begitu, kata Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M), seorang penyair kondang. Ya, waktu berlalu begitu saja, kita sadari maupun tidak kita sadari.

Begitu pula masa pemerintahan Presiden Jokowi pun akan berakhir pada saatnya. Maka, di masa-masa terakhir, di lap terakhir harus gas-pol istilahnya untuk mewujudkan tekadnya ketika mengawali masa pemerintahannya: mensejahterakan rakyat, memajukan bangsa dan negara, mewujudkan negara yang adil makmur,  gemah ripah lohjinawi, aman titi  tentrem, lan kerta raharja.

Untuk itu diperlukan tim yang benar-benar solid, yang benar-benar dan sungguh-sungguh bekerja, yang bisa fokus pada pekerjaannya sebagai menteri, yang profresional, yang get things done, mrantasi. Yang sudah berpikiran mendua, yang sudah tidak bisa fokus pada pekerjaan utamanya, dan juga yang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, semestinya diganti.

Maka ketika tersiar berita akan ada reshuffle kabinet, segeralah beredar secara cepat berita itu. Memang ada sikap pro dan kontra. Yang pro mengatakan memang perlu ada reshuffle kabinet. Karena pemerintah harus kerja cepat menuntaskan program kerjanya yang terganggu karena pandemi Covid-19, dua tahun terakhir. Sehingga para menteri yang kinerjanya tidak pas lagi, memang harus diganti. Apalagi yang sudah mendua hati, karena menyiapkan Pilpres 2024.

Yang menentang menyatakan, “Ah, tanggung, waktunya tinggal sedikit.” Lagian pula menteri baru harus mulai dari awal lagi. Apakah menteri yang baru langsung cepat beradaptasi dan beraksi dalam membuat kebijakan dalam waktu singkat.

Meski demikian, ketika berita soal reshuffle itu tersiar, segera muncul nama sejumlah menteri yang diperkirakan akan diganti. Ada sejumlah menteri yang menurut penilaian publik, tak pas lagi atau sudah mendua hati atau berkinerja kurang.

Tapi, itu penilaian publik yang belum tentu atau malah sama sekali berbeda dengan penilaian presiden yang memiliki hak prerogatif soal pengangkatan dan penggantian menteri.

***

Sebenarnya reshuffle kabinet adalah hal yang wajar, lumrah saja dalam sebuah pemerintahan. Meski demikian tetaplah menarik. Secara normatif reshuffle diwacanakan sebagai  solusi presiden untuk mengatasi stagnasi yang menghambat pencapaian kerja kabinet. Namun, biasanya masyarakat mengartikannya sebagai upaya mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik.

SBY, misalnya, melakukan reshuffle kabinetnya sebanyak 20 kali. Pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009), terjadi 11 kali reshuffle. Lalu periode kedua (2009-2014) ia me-reshuffle kabinetnya 9 kali.

Bukan kali ini saja, Jokowi merombak kabinetnya. Pada pemerintahan pertama, tiga kali ia merombak kabinetnya. Yang pertama, Rabu Pon, 12 Agustus 2015. Saat itulah, Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Hukum (Menko Polhukam), Rizal Ramli ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, dan Darmin Nasution menjadi Menteri Koordinator Perekonomian.

Hampir setahun kemudian, Jokowi kembali merombak jajaran kabinet. Reshuffle kedua  dilakukan pada Rabu Pon, 27 Juli 2016. Saat itu, Jokowi merombak 13 posisi menteri. Di antaranya, Jokowi memanggil pulang Sri Mulyani yang sedang menjabat sebagai Direktur Bank Dunia untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan. Jokowi juga mencopot Anies Baswedan dari posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu menunjuk Muhadjir Effendy sebagai penggantinya.

Lalu, pada Rabu pahing, 17 Januari 2018, untuk ketiga kalinya Jokowi me-reshuffle kabinetnya. Saat itu, Khofifah Indar Parawansa mundur dari jabatannya sebagai Menteri Sosial karena maju dalam Pilkada Jawa Timur. Jokowi kemudian menunjuk Idrus Marham menggantikan posisi Khofifah. Ia juga menunjuk Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

Pada 15 Agustus 2018, Jokowi me-reshuffle kabinetnya lagi. Ini perombakan keempat. Yang diganti adalah Menteri PAN-RB Asman Abnur dan digantikan Syafruddin. Asman mundur lantaran partainya, Partai Amanat Nasional (PAN) keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Tak lama kemudian yakni 24 Agustus 2018, Jokowi kembali melantik menteri baru, yaitu Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus mengantikan posisi Idrus Marham sebagai Menteri Sosial lantaran terjerat masalah hukum.

Pada periode kedua pemerintahannya, dilakukan juga reshuffle. Jokowi melantik enam menteri serta lima wakil menteri baru Kabinet Indonesia Maju pada Rabu, 23 Desember 2020.

Lalu, pada Rabu Wage, 28 April 2021, Jokowi melantik dua menteri Kabinet Indonesia Maju untuk sisa masa jabatan periode tahun 2019-2024 serta satu kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Jadi sekali lagi, reshuffle kabinet adalah hal yang wajar, lumrah saja dalam sebuah pemerintahan. Karena itu, yang digantipun harus menerima realitas itu. Bukan setelah keluar lapangan ngomel-ngomel nggak karu-karuan, seperti yang sudah-sudah, langsung beroposisi terhadap pemerintah.

***

Bila kita bayangkan seorang presiden itu seperti  seorang pelatih sepakbola, maka ia sangat tahu yang dibutuhkan tim untuk memenangi suatu pertandingan yang menentukan. Misalnya Carlo Ancelotti pelatih Real Madrid, tahu caranya menaklukan Liverpool yang dipimpin Jurgen Klopp agar bisa merebut piala Champion.

Pep Guardiola tahu persis komposisi seperti apa yang harus disusun saat tim asuhannya Manchester City menghadapi Liverpool asuhan Jurgen Klopp, untuk merebut piala Liga Primer.  Stefano Pioli pelatih AC Milan tahu pula cara mengalahkan Inter Milan yang dipimpin Simone Inzaghi. Tapi, Inzaghi tahu juga bagaimana meredam Juventus sehingga menjadi juara Coppa Italia 2021-2022.

Kini, di saat-saat terakhir, Jokowi merombak kabinetnya lagi, meskipun tidak seperti yang diperkirakan (diharapkan) publik, tentu bukan tanpa alasan yang kuat,  tepat, dan mendesak. Ini merupakan bagian dari pertaruhan kredibilitas presiden dan trust, kepercayaan rakyat pada presiden.

Karena itu, dari kacamata positif, reshuffle ini semoga  benar-benar untuk mewujudkan arti yang sesungguhnya dari politik dan tujuan dari sebuah pemerintahan negara. Yakni menciptakan bonum commune, kesejahteraan bersama, seluruh rakyat. Bukankah itu tujuan mulia dari berpolitik. Ibarat kemenangan, dalam sepakbola.

Tentu setelah reshuffle diumumkan dan hanya dua menteri yang diganti, publik masih bertanya-tanya, “kok si anu tidak?”; “kok si una juga tidak?” Ah, itu hak prerogatif presiden.

Itulah politik. Tetapi, tempus fugit, non autem memoria, waktu terus berjalan tetapi ingatan tidak. Ingatan rakyat terhadap pemerintahan Pak Jokowi yang disebut sebagai man of the people tak akan pernah berlalu seperti waktu. ***

Sumber: triaskun.id




Sumber :


BERITA LAINNYA



Close Ads x