Kompas TV kolom opini

Catatan Akhir KTT G20: Kemenangan Diplomatik - (Bagian 1)

Kompas.tv - 23 November 2022, 07:10 WIB
catatan-akhir-ktt-g20-kemenangan-diplomatik-bagian-1
Presiden Joko Widodo berjabat tangan dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden sebelum pertemuan bilateral di Bali, Senin (14/11/2022). (Sumber: (Dokumentasi/Sekretariat Presiden))

Oleh: Trias Kuncahyono

BUKU laris karya Elizabeth Gilbert, Eat, Pray, Love yang kemudian diangkat menjadi film dengan judul yang sama, menjadikan Bali sebagai latarnya. Film (2010) Hollywood itu dibintangi Julia Roberts, Javier Bardem, dan James Franco.

Bali memang kondang karena banyak hal. Tahun 1993, penyanyi asal Filipina, Maribeth merilis lagu Denpasar Moon. Lalu, Andre Hehanusa (2001) merilis Kuta Bali. Masih banyak atau bahkan begitu banyak cerita indah, cerita hebat tentang Bali.

Pekan lalu, catatan Bali bertambah satu: sukses melaksanakan KTT ke-17 G20. Kalau dalam dunia olahraga, Bali (Indonesia) mencatat rekor dunia baru. Indonesia, sebagai tuan rumah KTT G20 memperoleh apresiasi dari banyak negara, karena keberhasilannya: banyak yang hadir dan aman, meminjam istilah Hikmahanto Juwana.

KTT menghasilkan deklarasi, Leaders Declaration Bali. Kata Menlu Retno Marsudi, ini merupakan deklarasi pertama yang dapat disepakati forum multilateral, sejak pecah Perang Ukraina, September lalu.

Walaupun, sebelumnya muncul suara-suara bernada pesimistis dari sejumlah kalangan, bahkan termasuk dari Indonesia sendiri. Bisa dipahami bahwa semula ada nada pesimistis mengingat penunjukan Indonesia sebagai presidensi G20 dan pelaksanaan KTT di tengah situasi dunia yang sangat tidak bersahabat.

Para pemimpin G20 berkumpul di Bali, di tengah pandangan global yang semakin gloomy (suram) tentang situasi perekonomian dunia, meningkatnya fragmentasi setelah serangan Rusia atas Ukraina, dan menajamnya kompetisi di Indo-Pasifik, ketegangan AS-China soal Taiwan, dan banyak persoalan lain lagi.

Dengan situasi seperti itu, antara lain, ditambah trauma akibat pandemi Covid-19 belum pulih bahkan ada kecenderungan menggila lagi, masuk akal kalau ada pandangan pesimistis.

Bahkan muncul pendapat, meskipun menguasai 80 persen perekonomian dunia, namun sebenarnya hanya sedikit yang dapat dilakukan oleh para pemimpin G20 untuk mengatasi banyaknya, besarnya, dan kompleksitas krisis yang kini dihadapi dunia. Mereka bertemu pada saat konflik berada di atas titik nyala geopolitik yang paling berbahaya dan tanpa konsensus tentang bagaimana menanggapi pergolakan politik, ekonomi dan sosial.

Apalagi, sebagaimana pertemuan internasional yang dihadiri para pemimpin negara besar, akan menjadi panggung persaingan. Di Bali, ada pemimpin AS, China, India, negara-negara Eropa yang bertemu dengan antagonisme terbuka.

Semua datang membawa agendanya sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing. Meskipun, presidensi G20 Indonesia menetapkan tiga prioritas: arsitektur kesehatan global, informasi digital, dan transisi energi berkelanjutan.

Anggota G20 ini beragam: negara maju dan berkembang (beda dengan G7, yang merupakan kelompok negara-negara maju). Memang G20 dirancang agar lebih beragam dan representatif, tapi dengan tetap mempertahankan model pengambilan keputusan berbasis konsensus G7.

Dalam pengambilan keputusan tidak ada voting, tidak ada aturan mayoritas – jika kelompok ingin mengambil posisi, mempromosikan kebijakan, atau mendukung proyek, semua anggotanya harus menyetujuinya dengan suara bulat. Keanggotaan G20 yang bervariasi menjadikannya lebih sah sebagai institusi global.

Persoalannya saat KTT G20 digelar di Bali adalah, para anggota utamanya sekarang berselisih satu sama lain, justru ketika dunia membutuhkan kebersamaan, kesatuan tekad, langkah, dan tindakan. Krisis yang terjadi saat ini ibarat kata telah mengikat tidak hanya tangan, tetapi juga kaki G20.

Maka pertanyaan yang muncul: Apa yang bisa dilakukan di Bali? Mampukah Indonesia mempertemukan para pemimpin dunia yang memiliki kepentingan masing-masing, semua demi national interest-nya sendiri-sendiri? Terobosan apa yang bisa dicapai dalam KTT? Dapatkah KTT menyepakati deklarasi atau kesepakatan bersama, apa pun namanya?

Masih banyak lagi daftar pertanyaan bernada pesimistis yang bisa ditambahkan. Pendek kata, pertanyaan-pertanyaan itu ingin mengatakan, apa yang bisa dilakukan Indonesia di tengah dunia yang tengah berjalan tertatih-tatih mengusung beban berat ini?

Sebuah Terobosan

Sekarang, setelah KTT berakhir - dengan guyonan Presiden AS Joe Biden, enggan pulang karena enak di Bali - terlalu naif kalau mengatakan bahwa KTT G20 tidak berhasil. Bahwa KTT, sebagai forum utama untuk kerja sama ekonomi (disepakati di KTT Pittsburgh, September 2009) dihadiri 17 kepala negara dan pemerintahan dari 20 anggota - termasuk para pemimpin G7, serta Presiden China Xi Jinping - adalah sebuah capaian tinggi.

Tidak mudah menghadirkan mereka pada situasi sekarang ini, yang antara lain terpecah karena perang Ukraina dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik. Maka pada awal mula sempat diwarnai "drama" sejumlah negara tidak akan hadir kalau Putin diundang, karena invasi Rusia ke Ukraina.

Tentu hal tersebut menambahi beban persoalan pada Indonesia sebagai pemegang mandat presidensi, sebagai tuan rumah. Tuan rumah, tentu, sangat mengharapkan semua tamu undangan hadir tanpa kecuali.

"Drama" berakhir, Putin pilih tidak hadir dan mengutus Menlu Sergei Lavrov. KTT juga dihadiri para kepala institusi dunia, seperti Sekjen PBB Antonio Guterres, Managing Director IMF Kristalina Georgieva, Presiden Uni Eropa Charles Michel, WTO Director-General Ngozi Okonjo-Iweala, dan WHO Director-General Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Hadirnya begitu banyak tamu undangan, sangat melegakan, membanggakan. Tapi pada saat yang bersamaan, tuan rumah, Presiden Jokowi, harus mengatasi lebih banyak ketegangan geopolitik daripada yang dia harapkan sebagai tuan rumah KTT.

Bagaimana, misalnya mengakomodasi kepentingan pemimpin AS dengan sekutu-sukunya negara Barat, Jepang, Korsel, dan Australia, tanpa mempermalukan Moskow. Demikian juga, bagaimana mengakomodasikan keinginan China, India, Afrika Selatan, dan Brasil yang "dekat" dengan Rusia, tanpa menyinggung AS dan teman-temannya.

Tapi kata Antonio Guterres, "Saya harus mengatakan bahwa saya sangat mengagumi apa yang telah dilakukan Indonesia, dan khususnya, tindakan Presiden Widodo."

Antonio Guterres masih menambahkan, "Saya pikir dalam konteks yang sangat sulit di mana perpecahan geopolitik telah mencapai klimaksnya, Indonesia telah menunjukkan kapasitas yang sangat besar untuk menyatukan berbagai pihak untuk mempromosikan dialog dan mencoba mendorong solusi.

Dan, ternyata hal itu terjadi, pada akhirnya dengan disepakatinya Leaders' Declaration Bali, setelah melalui jalan panjang dan tak mudah. Istilah Antonio Guterres, G20 adalah ground zero untuk menjembatani perbedaan dan menemukan jawaban atas krisis dewasa ini dan banyak persoalan yang dihadapi dunia.

“Pada akhirnya, negara-negara Barat tersentak. Mereka berkedip; Indonesia mendapatkan apa yang diinginkannya,” kata Aaron Connelly, seorang peneliti di International Institute for Strategic Studies kepada VOA (14 November 2022).

Ini adalah hasil dari kerja keras diplomasi yang tak kenal lelah dari Menlu Retno Marsudi dan seluruh lini diplomat Indonesia sebagai yang di lapangan. Selain, tentu, usaha keras yang dilakukan Presiden untuk terus meyakinkan para pemimpin negara anggota G20, akan arti penting KTT G20 di saat ini dalam usaha mengatasi persoalan dunia yang demikian banyak dan berat.

Melakukan pertemuan sukses dari begitu banyak pemimpin dunia, pemimpin perusahaan besar, industri besar, dan keuangan di sebuah pulau yang merupakan destinasi pariwisata termuka, tentu mengisahkan tentang banyaknya pekerjaan yang bisa diselesaikan secara baik oleh tuan rumah.

Inilah kemenangan diplomatik Indonesia sebagai tuan rumah KTT. Bahwa KTT merupakan kemenangan diplomatik selama masa perang adalah bukti yang jelas atas pencapaian tinggi Indonesia sebagai pemegang mandat presidensi.

"In-person Diplomacy"

Tepat yang dikatakan Antonio Guterres bahwa G20 menjadi ground zero. Indonesia sebagai kekuatan nonblok berhasil menyatukan kekuatan besar yang saling berselisih dalam urusan banyak hal.

Di Bali, para pemimpin melakukan pertemuan bilateral. Banyaknya pertemuan bilateral di tengah-tengah KTT, pertama menandai kembalinya sepenuhnya diplomasi tatap muka (in-person diplomacy) antar-para pemimpin dunia. Dan, kedua, menggambarkan keberhasilan KTT.

Dialog bilateral sangat penting bagi negara mana pun untuk terlibat langsung dengan negara lain, apakah mereka berada di lingkungan terdekat atau di luarnya. Sebagai hasil dari keterlibatan ini, negara memperkuat tujuan mereka sendiri.

Dan, pertemuan bilateral meletakkan dasar untuk membangun koalisi kepentingan di forum regional dan multilateral. Kekuatan koneksi bilateral suatu negara memengaruhi posisinya di arena global. Dalam rumusan lain, pertemuan bilateral meningkatkan kesaling-pemahaman dan kerja sama antar-negara.

Salah satu pertemuan bilateral yang paling mendapat sorotan adalah pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. Sangat masuk akal kalau pertemuan keduanya sangat menarik dan menjadi fokus sorotan. Ini pertemuan langsung pertama antara keduanya.

Pertemuan itu terjadi di saat tiga ketegangan yang meningkat atas Taiwan, kontrol ekspor AS yang belum pernah terjadi sebelumnya pada teknologi canggih yang dikenakan terhadap China, meningkatkan uji coba rudal Korea Utara, dan perang yang sedang berlangsung di Ukraina.

Kata David Sacks (Council on Foreign Relations, 15 November) meskipun pertemuan antara Biden dan Xi tidak menghasilkan terobosan apa pun dalam hubungan AS-Tiongkok, tapi adalah batasan yang terlalu tinggi mengingat keadaan hubungan tersebut. Namun, kedua belah pihak memberi isyarat bahwa mereka ingin membangun landasan untuk hubungan dan membangun pagar pembatas untuk mencegah persaingan berubah menjadi konflik.

Xi Jinping juga bertemu dengan PM Jepang Fumio Kishida. Ini pertemuan pertama mereka. Xi Jinping juga bertemu dengan PM India Narendra Modi; Presiden Perancis, Emanuel Macron; dengan PM Australia Anthony Albanese, yang merupakan pertemuan pertama. PM Inggris Rishi Sunak ketemu PM India Narendra Modi; Narendra Modi bertemu Kanselir Jerman Olaf Scholz.

Masih banyak pertemuan bilateral lain di sela-sela KTT G20. Tentu juga belasan pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dengan para pemimpin negara lain. Presiden Jokowi antara lain bertemu secara bilateral dengan Joe Biden, Xi Jinping, Fumio Kishida, Presiden Komisi Eropa Ursula Von Der Leyen, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Anthony Albanese, dan Emmanuel Macron.

Maka, sangat bisa dipahami kalau Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden juga mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada KTT G20 yang dinilai mampu mendorong dialog guna kepentingan seluruh warga dunia.

Maka, kiranya sudah layak dan sepantasnya, Pemerintah Indonesia mendapatkan ucapan selamat yang tulus atas keseluruhan pekerjaan yang dilakukan dengan baik. (Bersambung....)




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x