Kompas TV kolom opini

Zaman Baru, Nabi Baru

Kompas.tv - 9 Maret 2023, 18:33 WIB
zaman-baru-nabi-baru
Film Oliver Twist (Sumber: Wallpaper Cave)

Oleh: Trias Kuncahyono

Hubungan kami dekat. Meskipun sangat jarang bertemu secara fisik. Tidak pernah bertatap muka. Tetapi, kami termasuk intens berkomunikasi lewat WA.

Pakde, begitu saya menyapanya. Dan, Pakde menyapa saya dengan sebutan, Dimas.

Setiap kali saya menulis “dongeng” dan saya bagi-bagi kepada para sahabat yang masih mempunyai waktu untuk membaca atau memiliki rasa ketertarikan membaca, saya pasti kirim padanya. Dan, Pakde selalu mengomentari. Bahkan bukan hanya mengomentari tetapi juga memberikan tambahan pandangan.

Zaman sekarang ini, orang rada-rada males membaca. Apalagi, tulisan yang panjang-panjang dan kurang kontroversial; yang kurang bernilai heboh; yang kurang kencang ngritiknya; yang kurang kasar bahasanya; kurang menghina orang lain; dan yang semacamnya. Yah, begitulah zaman sekarang.

Kemarin, Pakde kirim WA begini bunyinya:

Yang saya haturkan ini mungkin tidak menanggapi atau menambah apa-apa. Ini catatan-catatan kecil lepas sewaktu merenungkan artikel Dimas.

Menurut saya, setiap zaman membutuhkan seorang nabi, yang bisa melihat keadaan riil, tetapi menyusup lebih dalam untuk menemukan inti masalahnya dan kemudian menyuarakan peringatan plus membawanya ke depan. Ia mungkin tak populer dan kerap menjadi korban kenabiannya, dicerca dan dihina.

Sekadar contoh. Pada abad 19, Victor-Marie Hugo (1802-1885), seorang penyair, novelis, dan dramawan kondang Perancis menulis novel Les Misérables (1862). Novel lainnya adalah Notre-Dame de Paris (1831). Ada yang menerjemahkan Les Misérables menjadi The Miserable Ones, The Wretched, The Poor Ones, The Wretched Poor, dan The Victims.

Apa pun terjemahannya, lewat novelnya itu, Hugo melancarkan kritik sosial atas ketidakadilan yang lahir dari absolutisme monarki di Perancis, plus Gereja yg terkait di dalam sistem itu. Novel ini sering dikaitkan dengan Revolusi Perancis yang berslogan Liberte, Egalite et Fraternite.

Tetapi sesungguhnya, setting novel ini adalah masa setelah revolusi; bahkan 43 tahun setelah revolusi. Yakni, ketika terjadi pergolakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Juni.

Para sejarawan bahkan berpendapat andaikan Victor Hugo tidak mengangkatnya menjadi novel, orang melupakan peristiwa yang menewaskan dan melukai 800 itu. Novel ini lalu diangkat menjadi film.

***

Dimas ingat cerita karya Charles Dickens (1812-1870), bukan. Novel Oliver Twist. Itu contoh lainnya, yang mencerminkan gambaran masyarakat pada masa itu.

Charles John Huffam Dickens adalah novelis Inggris. Ia dipandang sebagai novelis terbesar Era Victoria, yakni era antara 1820 – 1914. Era ini, meski disebut Era Victoria, tidak secara langsung berkaitan dengan masa kekuasaan Ratu Victoria  1837 – 1901.

Yang menjadi ciri era ini antara lain adanya pembagian masyarakat berdasarkan kelas, bertambahnya jumlah orang yang dapat memberikan suara, pertumbuhan negara dan ekonomi, dan status Inggris sebagai kerajaan paling kuat di dunia. Masa itu, Inggris sangat kuat baik di bidang ekonomi maupun politik, wilayah jajahannya luas, dan armada laut kuat.

Lewat novel Oliver Twist, Charles Dickens mengritik dampak buruk dari Revolusi Industri lewat tokoh dalam novelnya: Oliver Twist, bocah yatim-piatu berusia 9 tahun, yang harus melawan keterpurukan, ketidakadilan, dan ego masyarakat pada masa Revolusi Industri.

Lewat kisah hidup Oliver Twist, Charles Dickens, misalnya, menyoroti kondisi kerja yang buruk, kondisi hidup yang buruk, upah rendah, pekerja anak, diskriminasi terhadap perempuan karena hanya digaji separuh gaji buruh laki-laki, dan termasuk polusi.

Kondisi kehidupan di kota-kota besar dan kecil sangat memrihatinkan dan ditandai dengan antara lain, kepadatan penduduk, sanitasi yang buruk, dan penyebaran penyakit. Selain itu, para pekerja dibayar dengan upah rendah yang hampir tidak memungkinkan mereka untuk membayar biaya hidup. Akibatnya, banyak dari keluarga kelas pekerja ini membutuhkan penghasilan tambahan dengan memerkerjakan anak-anak mereka.

Ada contoh lain, Dimas: Harriet Elisabeth Beecher Stowe (1811 - 1896). Lewat novelnya, Uncle Tom’s Cabin (1852), Harriet mengritik praktik perbudakan keji di Amerika, pada masa itu. Harriet dikenal sebagai seorang abolitionist. Ia anggota abolition movement, gerakan penghapusan.

Gerakan ini (marak antara 1783-1888, di Eropa Barat dan Amerika), dalam aksinya menciptakan iklim emosional yang diperlukan untuk mengakhiri perdagangan budak transatlantik dan perbudakan. Antara abad ke-16 dan ke-19 diperkirakan total 12 juta orang Afrika diperjual-belikan sebagai budak; diambil secara paksa di Afrika dan dijual di Amarika. Kebrutalan perbudakan ini, yang menuntut penghapusan praktik perbudakan.

***

Sangat menarik, Dimas. Di zaman Victor Hugo, di Tanah Jawa hidup pujangga besar dari Kasunanan Surakarta, Ranggawarsita (1802-1873). Pujangga ini melihat akan datangnya “Zaman Edan” ada yang menyebutnya “Zaman Gemblung”, yang digambarkan dalam Serat Kalatidha.

Istilah “Zaman Gemblung,” Zaman edan, merujuk pada penggambaran keadaan zaman yang rusak, yang tidak karu-karuan. Di zaman itu terjadi pelanggaran aturan dan norma yang parah dan sistematis, pelanggaran hukum menjadi biasa, tindak angkara murka gampang ditemui, pamer kuasa ada di mana-mana, dan pamer kekayaan menjadi semacam mode.

Zaman itu ditandai oleh merebak wabah korupsi dan laku khianat–meminjam istilah Mochtar Pabotingi (Kompas, 8/3/2023). Rakus serakah. Manusia hanya berpikir bagaimana lekas menjadi kaya, serta saling berlomba hidup dalam kemewahan. Hatinya panas karena terbakar oleh nafsu angkara murka. Emosi massa mudah dibakar. Amarah mudah dibangkitkan.

Begitulah, Dimas kira-kira. Setiap zaman, lahir “nabi” baru sesuai dengan kondisi zaman, persoalan dan tantangan zaman. Yah, meskipun sekarang ini banyak orang yang meneriakkan “suara kenabian”, tapi kok menurut saya, ya “nabi-nabian” saja.

Mereka itu biasanya merasa paling bersih, paling suci, paling benar jalannya, paling lurus langkahnya, paling punya hak atas surga, paling pandai, paling tahu, paling berjasa, dan paling-paling yang lain….Dan, biasanya, “yang merasa paling” itu, dalam kenyataannya justru sebaliknya.

Maka, Dimas, jangan mudah percaya pada yang bermain “nabi-nabian” semacam itu dan jangan tanya pada siapa: Siapa “nabi” negeri kita zaman sekarang ini…sebab, jangan-jangannya, “nabi”-nya … media sosial…




Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA


Opini

KAISAR

20 Mei 2024, 07:07 WIB

Close Ads x