Kompas TV kolom opini kompasianer

Kritik Postkolonialisme Uncle Roger terhadap Olahan Nasi Goreng Jamie Oliver

Kompas.tv - 8 Agustus 2023, 20:51 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.tv

kritik-postkolonialisme-uncle-roger-terhadap-olahan-nasi-goreng-jamie-oliver
Tangkapan layar video Uncle Roger saat mengkritisi chef terkenal asal Inggris, Jamie Oliver (Sumber: Akun Youtube @mrnigelng)
Penulis : Thomas Panji

JAKARTA, KOMPAS.TV - Di tahun 2020 lalu, jejaring media sosial Youtube digemparkan dengan sebuah video jenaka nan kritis dari komedian asal Malaysia, Nigel Ng, yang menyebut namanya sebagai Uncle Roger.

Dalam video tersebut, Uncle Roger mengkritik habis-habisan metode memasak Jamie Oliver, salah satu celebrity chef asal Inggris, saat memasak nasi goreng. Pasalnya, Jamie memperlihatkan inovasi absurd dalam melakukannya, termasuk memakai beberapa bahan baku yang juga tak biasa.

Sebagai informasi, nasi goreng adalah hidangan "sejuta umat" yang telah menjadi salah satu menu favorit masyarakat dunia, demikian menurut laporan CNN Travel tahun 2017 berjudul: 'Your pick: World’s 50 best foods'.

Hingga kini, video yang berjudul Uncle Roger HATE Jamie Oliver Egg Fried Rice tersebut sudah ditonton hingga 25 juta kali dan mendapatkan lebih dari 1 juta like. Dan jika melihat kolom komentarnya, mayoritas sepakat dengan kritikan Uncle Roger: Jamie memang terlalu nyeleneh dan sembrono dalam memasak nasi goreng!

Dikotomi Hubungan Antar-Bangsa

Dalam perspektif kritis, hubungan antara Uncle Roger dan Jamie Oliver dalam video tersebut menyiratkan adanya sebuah hubungan unik mengenai identitas antar-bangsa yang terdikotomi satu sama lain. Mungkin kata "dikotomi" terdengar agak berlebihan, tetapi penulis akan mencoba mengulasnya berdasarkan perspektif teori sistem dunia (World System Theory) dan kajian post-kolonialisme.

Dalam studi post-kolonialisme, kata "post" diartikan dan dipahami sebagai suatu hal yang bersifat "melampaui" rentang waktu dari peristiwa kolonialisme itu sendiri.

Post-kolonialisme juga dapat dipahami sebagai cara pandang yang berusaha menganalisis berbagai peninggalan kolonialisme di masa lalu yang menjelma ke dalam suatu bentuk kolonialisme yang bersifat lebih lunak, cair, dan bersahabat di era globalisasi seperti sekarang.

Menurut salah satu pemikir besar abad ke-20, Edward Said, studi post-kolonialisme secara komperhensif berusaha melihat berbagai bentuk dari sejarah penjajahan yang erat kaitannya dengan praktik dan pendekatan untuk dapat mendominasi dan mengkonstruksi bumi bagian Timur.

Lambat laun, berbagai konsep pemikiran pun dibentuk oleh para penjajah (Barat), untuk semakin membuat Timur tampak tak berdaya secara pemikiran dan karakter mereka. Studi post-kolonial yang digagas oleh Said terinspirasi dari teori hegemoni Antonio Gramsci dan teori diskursus Michel Foucault, yang menawarkan metode analisis dalam melihat praktik kolonialisme ala Barat.

Said menilai, kedua teori tersebut menawarkan cara pandang yang kritis dan makro dalam melihat berbagai peristiwa penjajahan dan pertukaran budaya yang bersifat eksplisit. Seperti adanya penanaman nilai-nilai Barat yang selalu diagungkan dari pada Timur, yang akhirnya berdampak pada banyak segi kehidupan masyarakat kolonial.

Sebagai contoh, orang-orang pribumi (indigenous) tidak berhak mendapatkan akses pendidikan, terkecuali jika mereka berdarah biru; orang-orang pribumi tidak berhak untuk memiliki rumah permanen; tidak berhak menggunakan fasilitas umum sembarangan; dan lainnya.

Itulah yang menjadi inti kajian Said dalam magnum opus-nya, Orientalisme. Ia menjelaskan tentang bagaimana Barat mengatur kehidupan timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis, bahasa, adat istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype terhadapnya. 

Barat, dalam kajian Said, selalu berupaya untuk membangun citranya sebagai bangsa yang "superior", yang memiliki tugas dan peran untuk melakukan "penjajahan", sebagai tugas mulia Tuhan dalam memberadabkan bangsa Timur yang dicap sebagai bangsa pandir dan terbelakang. 

Itulah bentuk kolonialisasi pikiran (colonizing mind) yang dilakukan Barat terhadap Timur.

Kolonialisasi pikiran dapat dipahami sebagai sebuah terminologi yang menyatakan, sekalipun penjajahan secara bersenjata (fisik) telah usai, namun penjajahan terhadap budaya, pemikiran dan karakter sebuah bangsa (Timur) masih akan terus berlangsung.

Kelak hal itulah yang menyebabkan mengapa orang selalu memandang Barat sebagai dunia yang lebih bergengsi, dari pada sesuatu yang berangkat dari identitas Timur.

Ilustrasi mengenai orientalisme dalam film Indiana Jones (Sumber: Lithub.com)

Neo-kolonialisme dalam Globalisasi

Konteks poskolonialisme juga melihat keikutsertaan peran dari merebaknya globalisasi dan perdagangan bebas yang dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari kolonialisme baru atau neo-kolonialisme. Globalisasi merujuk pada bentuk hubungan antar masyarakat yang melampui batas wilayahnya, tempat di mana mereka tinggal, atau bisa disebut juga sebagai "suprateritorial".

Dengan 'suprateritorial' maka hubungan komunikasi akan semakin meningkat dan terjadilah pertukaran budaya sebagai akibat dari intensnya komunikasi itu. Pasalnya, globalisasi menyediakan ruang untuk berkomunikasi dan bertukar budaya, maka kemungkinan adanya ruang pergaulan multikultur berpeluang muncul di kehidupan modern.

Namun, fenomena ini di satu sisi juga membuka peluang terciptanya superioritas budaya kepada komunitas yang dinilai inferior. Keadaan semacam itulah yang kelak memunculkan suatu bentuk aktivitas kolonialisme baru yang disebut dengan neo-kolonialisme.

Pengunaan istilah neo-kolonialisme pertama kali dicetuskan oleh presiden pertama Ghana, Kwame Nkrumah, di tahun 1965. Istilah neo-kolonialisme dipahami sebagai praktik penguasaan dengan memakai pendekatan kapitalisme dan globalisasi untuk menciptakan hegemoni yang mengakar pada suatu masyarakat.

Dalam perkembangannya, neo-kolonialisme bekerja dengan cara-cara yang lunak dan terkesan ramah pada masyarakat. Kehadiran gerai makanan cepat saji di negara berkembang atau model baju terbaru dari perusahaan brand dari Barat hanyalah beberapa contoh kecil tentang neo-kolonialisme yang perlahan mengakar dan menjadi lumrah.

Neo-kolonialisme pada akhirnya semakin melanggengkan bentuk kolonisasi pikiran bagi masyarakat inferior atas kehebatan Barat. Hal ini kelak membawa banyak masalah baru, salah satunya adalah ketimpangan status antar bangsa dan antar negara. Ketimpangan ini bisa terjadi karena adanya agenda politisasi sistem dalam skala global dari negara-negara maju.

Dalam konteks ini, politisasi sistem yang dimaksud berkenaan dengan World System Theory (WST): suatu teori yang berusaha melihat bahwa pergerakan modernisasi dan ekonomi yang terjadi dalam lingkup global tidak pernah berjalan secara seimbang (timpang).

Dan ketimpangan tersebut akhirnya melahirkan suatu stratifikasi sosial dalam menempatkan suatu negara. Selalu ada berbagai upaya untuk membuat suatu negara terus miskin dan negara lain tetap kaya dan berkuasa.

Ada tiga tingkatan negara dalam WST: negara inti (core nation); negara semi pinggiran (semi periphery); dan negara pinggiran (periphery).

Negara-negara maju (core) merawat superioritas tersebut dalam berbagai cara: mengontrol keuntungan, mempertahankan hegemoni, dan mempertahankan sifat-sifat baik dengan negara-negara semi pinggiran atau pinggiran.

Cara-cara ini lantas ditempuh dalam bentuk yang beranekaragam, seperti indoktrinisasi melalui media yang berdampak pada industri kuliner; budaya pop; fesyen; ilmu pengetahuan; dan lainnya.

Indoktrinisasi melalui media sangat ampuh dalam melanggengkan kolonialisasi pikiran atas status superioritas Barat sebagai bangsa yang selalu menduduki puncak menara gading dan mercusuar bagi bangsa lainnya. 

Post-kolonialisme Video Uncle Roger

Pembaca dapat melihat hubungan antara poskolonialisme dengan world system theory tadi dalam video reaksi yang dibuat oleh Uncle Roger.

Adanya dikotomi nasi goreng, antara nasi goreng versi Asia yang totok menurut Uncle Roger dengan nasi goreng versi Asia namun menggunakan pendekatan dan kreasi ala Eropa yang disesuaikan dengan selera lidah Barat Jamie Oliver.

Meski memang terlihat lumrah untuk berkreasi, namun perilaku tersebut akhirnya memunculkan ruang dikotomi, khususnya dikotomi cita rasa dan akar budaya dari nasi goreng itu sendiri.

Menurut Murdijati Gardjito, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, untuk memahami suatu cita rasa makanan dalam lingkup gastronomi, pengetahuan lokal (local knowledge) mengenai bahan baku, cara memasak, dan bahkan esensi dari masakan itu sendiri harus dipelajari serta diilhami terlebih dahulu.

Sebab, tanpa adanya pengetahuan lokal mengenai ke semua hal tersebut, akan mustahil bagi seseorang untuk mampu menciptakan makanan yang layak dan sesuai dengan semangat filosofis dari masakan itu sendiri.

Dari video Uncle Roger, pembaca dapat melihat jika Jamie Oliver sebagai seorang celebrity chef tidak memahami bagaimana sejarah, esensi, hingga local knowledge dari nasi goreng yang merupakan khas makanan di Asia, wabilkhusus Asia Tenggara.

Ketidaktahuannya itu tampak jelas dari caranya mengolah nasi, penggunaan bahan bumbu dasar yang tidak mencerminkan lokalitas, serta inovasinya yang sembrono. Dengan status sosialnya sebagai celebrity chef berkebangsaan Inggris -- yang merupakan negara core dalam pengertian World System Theory -- maka tidak berlebihan jika menganggap Jamie Oliver sesungguhnya sedang memamerkan mentalitas superior Barat atas Timur.

Olahan Jamie jelas membuat nilai-nilai lokalitas dan otentisitas nasi goreng jauh panggang dari api. Dalam era media sosial seperti sekarang, ditambah, sekali lagi, statusnya sebagai celebrity chef terkenal, kekhawatiran tersebut jelas punya bobot yang logis.

Pada akhirnya, pembaca bisa melihat betapa kritik yang disampaikan oleh Uncle Roger sungguh layak diapresiasi. Apa yang dilakukannya bukanlah bentuk mentalitas puritan yang menolak inovasi. Ia hanya berupaya menjaga marwah identitas suatu bangsa, sekalipun hanya di atas sepiring nasi goreng.

Dan cara apa lagi yang lebih baik untuk melakukan itu selain lewat humor?

* * *

Daftar Pustaka:

Said, E. (1995). Orientalism. London. Penguin Books

Utami, S. (2018). Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2): 36-44. Universitas Pancasila

Nurhadi. (2007). Poskolonial: Sebuah Pembahasan. Seminar Rumpun Sastra.

McPhail. 2014. GLOBAL COMMUNICATION: THEORY, STAKEHOLDERS, AND TRENDS. West Sussex. WILEY Blackwell.

Nkrumah, K. 1965. Neo-Colonialisme The Last Stage of Imperialism. New York. International Publisher.

Gardjito, M et al. 2019. Gastronomi Indonesia (Jilid II). Yogyakarta. Global Pustaka Utama.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Uncle Roger dan Kritisisme terhadap Pengetahuan Kuliner"




Sumber : Kompasiana


BERITA LAINNYA



Close Ads x